Belajar

Beberapa minggu ini aku masuk ke sebuah gua. Tempat yang banyak digunakan orang untuk semedi. Berkontemplasi. Gua di lereng gunung, di tengah hutan belantara. Gua yang gelap, dingin, lembab, dan sepi. Sendiri. Jauh dari dunia luar. Jauh dari orang-orang. Jauh menghindar dari semua masalah. Hanya ada suara tetes-tetes air yang menemani.

Guanya tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk duduk dan berbaring. Anehnya tidak ada binatang di dalam gua ini. Aku bersihkan gua ini. Cahaya mentari mengintip malu-malu. Bisikan angin menyapa, “Selamat datang penghuni baru”.

Aku ingin membebaskan badan dan pikiranku. Aku ingin lebih dekat dengan ‘Sang Pencipta Seluruh Alam’. Aku ingin membebaskan pikiranku dari hiruk-pikuknya dunia. Aku ingin mendapatkan ketenangan. Aku ingin menjernihkan pikiran. Aku ingin diam. Aku perangkapkan tubuhku dalam dekapan gua. Seperti katak terperangkap dalam tempurung.

Meskipun badanku terperangkap, pikiranku bebas merdeka. Pikiranku seperti mandi di sebuah telaga yang jernih. Bebas polusi. Terasa segar. Pikiranku siap mengembara.

Aku masuk ke dunia maya. Kucoba telusuri jejak-jejak ke masa-masa lalu. Aku mencoba mencari tahu akar asal muasalnya. Dan ketika aku mulai pengembaraanku, pikiranku keluar gua dan berjalan menuju hutan belantara. Aku dapat melihat, ada banyak sekali jejak-jejak di hutan ini. Aku coba bersihkan daun-daun dan rumput-rumputan agar jejak-jejak itu jelas terlihat. Jejak-jejak itu bersambung menyambung. Saling terpilin.

Dan ketika aku berjalan semakin jauh ke dalam. Aku menyadari bahwa jejak ini telah dibangun oleh banyak orang. Jejak-jejak yang sudah dibangun sejak ribuan tahun yang lalu. Sesekali aku kembali ke gua. Kugoreskan peta-peta jejak itu di dinding-dinding gua. Kulewati lagi jejak-jejak yang telah aku temukan untuk mencari jejak-jejak baru. Setiap aku temukan jejak baru, aku kembali ke gua dan kugoreskan lagi ke dinding-dinding gua. Aku kembali dan kembali lagi.

Samar-samar di kejauhan mulai terlihat bagunan di tengah belantara. Istana megah yang belum selesai. Di pahat dari batu pualam, marmer dan granit. Para pembuat jejak telah memahat batu-batu ini. Banyak pahatan yang belum selesai. Ada yang membuat gerbang megah menjulang. Ada yang membangun pondasi-pondasi kokoh terpancang. Ada yang memahat tiang-tiang penyangga gagah perkasa. Ada yang memahat bagian-bagian detail halus. Ada yang mengali, mengali, dan terus mengali.

Tertegun aku. Terpesona dengan kemegahan bangunan ini. Dapat kubayangkan istana megah jika selesai nanti. Pahatan dari batu pualam. Untuk sesaat aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku berjalan berkeliling (rasanya aku tidak sanggup untuk mengelilingi bangunan megah ini). Aku berjalan bolak-balik seperti orang kebingungan.

Aku mencari-cari, masihkan ada yang bisa aku kerjakan. Aku ingin menjadi bagian dari para pekerja keras itu. Aku ingin menyumbangkan tenagaku dan keahlianku untuk membangun istana ini. Aku ambil pahat, palu. Kuayunkan tanganku. Tok…tok….tok……. Aku masih ragu, aku masih takut, kalau-kalau aku salah pahat dan merusak keindahan istana ini. Perlahan tapi pasti. Aku mulai merasakan jiwa bangunan istana ini. Pahatku tergenggam kokoh. Paluku terayun kuat. Aku menyatu dengan para pekerja-pekerja itu.

***

Perlahan aku buka mataku. Kuregangkan tubuhku. Otot-otot yang kaku terasa kembali lemas. Aku merasakan seperti ada energi baru yang mengalir dalam darahku. Aku bangkit dan berjalan ke luar. Mentari tersenyum. Burung-burung berkicau riang. Langit biru. Pelangi. Lambaian daun-daun. Semilir angin. Menari riang menyambutku.

Peta ditanganku. Energi baru. Semangat baru. Kembali ke dunia nyata. Dunia tunggulah aku……

Leave a comment