Permainan Uang dan Judi dalam Pemilihan Kepala Desa

Ini kisah nyata. Money Politik dalam pemilihan kepala desa sudah dianggap lumrah, bahkan dilakukan terang-terangan. Lebih ‘crazy’ lagi pemilihan kepala desa jadi ajang perjudian. Bebotoh-bebotoh ikut taruhan dan menebar uang. Edan.

Minggu lalu di sebuah desa Kenong (sebut saja begitu) dilaksanakan pemilihan kepala desa. Kontenstannya ada dua orang, yang satu mewakili tokoh tua, namanya Warnawi, yang satu lagi mewakili tokoh pemuda, namanya Jartono. Mereka berdua tinggal di RW yang sama, bahkan di jalan yang sama. Jarak rumah mereka tidak lebih dari 200m. Kondisi ini membuat suasana desa Kenong menjadi meriah dua bulan terakhir.

Desa Kenong adalah sebuah desa di kota kecil di Jawa Tengah. Desa ini cukup ‘kaya’ dibandingkan desa2 lain di kota itu. Letaknya dekat pusat kota. Desa ini memiliki pasar tradisional terbesar di kota ini. Ada juga pujasera, stadion olah raga, dan rumah sakit milik seorang dukun yang jadi politisi di senayan. Ada juga beberapa komplek ruko dan pertokoan yang tersebar di beberapa tempat. Kondisi ini mungkin yang menjadi salah satu daya tarik untuk memperebutkan posisi kepala desa.

Pemilihan kepala desa adalah tradisi yang sudah dilakukan bertahun-tahun yang lalu. Era reformasi bukannya meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat desa, namun justru memperburuk dan merusak demokrasi di desa.

Awalnya cuma perang poster. Poster-poster bergambar para calon tertempel di seluruh pelosok desa. Ada juga panduk dan poster berukuran besar di beberapa tempat strategis. Ini baru pemanasan.

Jartono membuat strategi kampanye yang lebih baik. Dia berjalan kaki keliling kampung dan meminta doa restu dari warga. Strategi ini cukup efektif menarik simpati warga desa Kenong.  Selain itu mereka juga mengadakan acara pertemuan2 di kampung2.  Masih strategi kampanye yang wajar.

Suasana mulai memanas di minggu-minggu terakhir. Mulai terjadi perusakan poster.  Intensitas pertemuan juga semakin meningkat.  Hampir tiap hari saya lihat rumah mereka ramai. Di depan rumah mereka di pasang tratag dan kursi2 disediakan cukup banyak. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena saya tidak ikut dan hanya mengamati saja.

Minggu terakhir mulai praktek-praktek money politik dilakukan. Beberapa hari sebelum hari pencoblosan masing-masing kandidat mulai membagi-bagikan uang. Kalau jaman dulu ini dilakukan sembunyi-sembunyi.  Sekarang dilakukan terang-terangan dan di siang hari bolong. Setiap kepala yang mempunyai hak pilih dapat Rp. 50rb.

Jumlah total pemilih sah di desa Kenong kurang lebih 6000 kepala. Jika untuk menang memerlukan 51%, maka mereka perlu dukungan paling tidak dari 3060 pemilih. (Saya tidak tahu jumlah pastinya, ini hanya perkiraan saya dari informasi warga.) Para calon kepala desa mesti menyiapkan uang Rp. 153 jt. Ini baru uang yang dibagi-bagi. belum lagi uang untuk tim sukses, spanduk, poster, dan makan-makan.

Untuk mendongkrak pemilih mereka juga menyediakan angkutan (mini bus & angkot) pulang pergi dari beberapa kampung atau tempat kerja ke lokasi pencoblosan. Pada saat di dalam angkutan ini mereka dibagi uang lagi masing2 Rp. 50rb. Busyet.

Jarnoto lebih memanjakan pemilihnya. Sebelum mencoblos mereka disediakan sarapan gratis di sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari balai desa. Setelah mencoblos mereka boleh makan lagi atau mengambil makanan kecil yang disediakan. Semua diarahkan dan dipandu oleh tim sukses Jarnoto. Beberapa warga desa yang rumahnya dekat juga menceritakan kalau mereka mendapat tambahan Rp. 50rb dari Jarnoto.

Akhirnya pemilihan selesai dilakukan dan seperti yang banyak diduga oleh warga desa Jarnoto yang berlambang padi memenangkan pemilihan kepala desa. Pendukungnya bersorak-sorai merayakan kemenangan ini.

Dibalik kemeriahan pesta kemenangan itu, saya mendapatkan kabar yang lebih memprihatinkan. Ternyata pemilihan kepala desa ini juga menjadi ajang perjudian dari para bebotoh. Bebotoh-bebotoh itu bertaruh siapa yang akan menang. Bebotoh-bebotoh ini juga yang menjadi sponsor utama calon kepala desa itu. Menurut kabar angin, sebagian uang yang dibagikan ke warga itu adalah uang dari bebotoh. Entah berapa besar nilainya. 

Kota kecil ini juga dikenal sebagai kota dukun. Beberapa dukun kondang di negeri ini asalnya dari kota ini. Praktek-praktek perdukunan dan ‘syirik’ sudah diangap lumrah, meskipun mayoritas warganya muslim. Saya kok meyakini calon2 kepala desa ini juga memiliki ‘backing’ dukun.

Fonomena ini ternyata tidak terjadi di desa ini saja. Ketika saya cerita ke teman2 dari desa yang lain, ternyata juga terjadi di desa mereka. Sepertinya semua orang sudah tahu praktek2 demokrasi yang ‘tidak benar’ ini.  Dari nada mereka bercerita, sepertinya orang sudah memaklumi praktek seperti ini. Sudah lumrah dan wajar. Dan, mereka juga menikmatinya. Miris.

Calon yang menang tidak lagi ditentukan oleh kualitas calonnya, tetapi seberapa kuat modalnya. Mereka yang punya modal besar, uang banyak (entah dari mana), bebotoh kuat, dukun ampuh, hampir dipastikan akan menang.

Entah sadar atau tidak, warga desa sedang ditipu. Yang menang sudah mengeluarkan banyak uang. Perkiraan saya tiap calon lebih dari setengah EM modalnya. Tentunya mereka akan mencari kembalian plus keuntungannya. ‘Uang modal’ plus ‘keuntungan’ tidak mungkin cukup dari gaji seorang kepala desa. Yang paling besar adalah dari proyek2 yang melewati desa itu. Warga desa menghancurkan diri mereka sendiri.

Dalam hukum Islam, suap dan korupsi haram hukumnya, apalagi judi dan perdukunan. Kehidupan desa jauh dari keberkahan. Maklum saja kalau tidak ada kemajuan di desa ini.

Ini adalah potret democrazy yang paling kecil: pemilihan kepala desa. Masih ada democrazy yang lebih besar; pemilihan bupati, walikota, dprd, dpr, dan presiden. Apakah democrazy semacam ini yang terjadi? Mau jadi apa negeri ini?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s