Category Archives: Video

Kisah-kisah di ArasoE: Meningalkan Motor di Kebun dengan Kuncinya

Meninggalkan Motor di Kebun dengan Kuncinya

Salah satu yang menarik di Arasoe adalah aman meningalkan motor dengan kuncinya atau barang2 di kebun. Meskipun motor ini ditinggal tanpa pengawasan tetap aman. Bahkan sampai berhari2 pun tetap aman. Barang2 ditinggal begitu saja juga aman. Sapi ditinggal di kebun tanpa ada yang menungguin tetap aman. Yang seperti ini tidak bisa dilakukan di Jakarta, Jadebotabek atau di kota besar lainnya di Indonesia. Jangankan ditinggal, dibawa saja dibegal orang.

Presentasi TEDx Talks Tentang Durian

Bagi orang barat/bule, durian terdengar sedikit ‘mengerikan’ dan ‘menjijikkan’ karena baunya yang sangat menyengat. Beda benget dengan kita orang Asia (Indonesia, Malaysia dan Thailand) yang mengangap durian sebagai ‘Raja-nya Buah’. Orang Barat masih belum bisa menerima, kenapa buah yang sangat bau ini menjadi Raja-nya Buah. Ibaratnya, sama saja orang Indonesia yang tidak bisa makan ‘telur caviar’. Makanan bau begitu kok bisa harganya selangit. Berikut ini ada presentasi menarik dari Dr. Bender tentang durian di forum TEDx Talk. Silahkan dinikmati presentasinya di YouTube.

Serupa Tapi Tidak Sama, Paphiopedilum dodyanum vs Paphiopedilum glaucophylum

Mudik Lewar Jalur Selatan Jabar; Mencoba Tantangan Baru

(Foto2 dan videonya menyusul ya….)

Mudik melalui jalur pantura dan lewat jalan tol sudah terlalu mainstream. Apalagi jalur tol sekarang sudah bisa tembus ke Semarang, meski sebagian masih tol fungsional, menjadikan perjalanan mudik tidak lagi banyak tantangan dan hambatan. Tahun 2018 ini, kami ingin mencoba jalur baru; jalur pantai selatan Jabar. Jalur mudik yang baru pertama kali kami coba ini ternyata penuh kejutan dan sangat mengasikkan. Hanya saja kami melalui jalur ini ketika balik kembali dari Jawa (Pati) ke Bogor.

Menyiapkan Rute Perjalanan

Ketika berangkat mudik kami sengaja lewat jalur pantura, karena buru-buru ingin cepat sampai rumah. Kami berangkat hari jum’at selepas saya pulang kerja. Saya pulang kerja pukul 15. Siap2 satu jam, kurang lebih pukul 16.30 kami berangkat. Jalan masih cukup penggang, karena perkiraan puncak arus mudik hari sabtu dan minggu. Kami masuk tol dari Baranangsiang masuk ke Tol Jagorawi. Jalan tol terus, JORR-Cikampek-Cipali-tol fungsional Gringsing- tol fungsional Gringsing-Seramang-masuk tol Semarang-tol Bawen dan keluar di Bawen. Tol terus sejauh 400km. Lancar jaya.

Nah. Baliknya, kami membaca himbauan pak Gubernur Jabar Aher, kalau jalur pantai selatan jabar jalannya sudah mulus dan lancar. Tantangan yang perlu dicoba. Malamnya saya coba cek jalur ini melalui aplikasik Google Maps dan Waze. Start dari Pati, lewat Semarang, trus ke Temanggung, trus ke Wonosobo, lanjut ke Banjarnegara, trus ke Banyumas, ‘mlipir’ ke Rowalo dan lanjut ke Pangandaran. Jalur ini saya sudah hafal di dalam kepala. Karena sering saya lewati sejak jaman kuliah dulu.

Nah. Jalur berikutnya adalah jalur baru. Saya coba beberapa kali dengan berbagai pilihan rute. Google Maps dan Waze seringkali menyarankan rute via Bandung. Tapi kami ingin lewat jalur pantai selatan. Ketemu juga rute dari Pangandaran ke Cianjur, puncak baru ke Bogor. Kepikiran juga untuk lewat Pelabuhan Ratu trus lanjut Sukabumi baru ke Bogor. Saya trauma dengan kemacetan Sukabumi – Bogor. Pilih rute yang pertama saja. Lumayan jauh juga, kurang lebih 700km. Lebih jauh duaratusan km dari jarak mudik yang biasa kami lalui. Tidak apa-apalah.

Karena rute ini seumur hidup baru pertama kali ini kami lewati. Saya coba atur ketika melewati jalur itu sebisanya ketika matahari masih terang benderang. Kalau malam lewat jalur itu tidak ada yang bisa dinikmati.

Berangkat …!!!!!

Senin pagi, tanggal 18 kami sudah bersiap2. Setelah menyelesaikan urusan thethek bengek, kira2 jam sebelas siang kami baru bisa berangkat. Jalan santai saja. Isi BBM full tank dan tancap gas.

Biasanya kami berhenti sholat di Masjid Demak. Tapi karena agak macet di ring road Demak, kami sholat di masjid pingir jalan saja. Lanjut ke Semarang. Jam setengah dua sudah sampai Bawen.

Makan Siang di Rawa Pening

Rawa Pening

Indahnya pemandangan sawah di Rawa Pening, Ambarawa.

Perut mulai keroncongan. Akuirnya kami pesan bebek goreng Pak Slamet. Tapi kami tidak makan di tempat. Kami makan siang di Rawa Pening. Makan sambil menikmati pemandangan gunung2 di seputaran Rawa Pening.

Saya jadi ingat kisahnya Baru Klinting, kisah asal muasal Rawa Pening. Kisah anak manusia yang berwujud naga. Kisah anak buruk rupa dan lidi yang tertancap ditanah. Salah satu gunung di sekeliling rawa ini terbentuk dari lidi yang tertancap itu.

Perut sudah kenyang, saatnya melanjutkan perjalanan. Jalanan naik gunung dan berkelok2. Mobil melaju lambat. Di Temanggung ternyata juga macet. Mlipir lewat pingiran kota pun jalanan ramai. Kira2 selepas magrib kami baru lolos dari Parakan.

Rawapening, Ambarawa, Jawa Tengah

Rawapening, Ambarawa, Jawa Tengah

Makan Malam di Tengah2 Dua Gunung

Di jalur ini ada rumah makan yang biasa kita singgahi; Warung Joglo. Lokasinya hampir tepat di tengah2 antara gunung Sumbing dan gunung Sindoro. Kalau siang pemandangannya bagus baget. Pertama kali makan di tempat ini sekitar 3 lebaran yang lalu. Kami makan sahur di sini. Sepi. Hanya kami saja tamu yang makan. Kini, warung joglo sudah ramai sekali. Kami berhenti untuk sholat dan makan.

Agak lama juga kami berhenti di warung joglo ini. Sempat ngobrol2 dengan anak kecil yang jadi tukang parkir. Anak desa sekitar. Namanya Agus dan baru kelas 4 SD.

Melanjutkan perjalanan lagi. Mobil melaju agak kencang karena jalanan relatif sepi. Banyak juga mobil2 Plat B, A dan F yang sudah mulai balik dari kampung menuju ke Barat.

Sampai di Klampok saya ambil jalan ke Banyumas. Mobil2 lain belok kanan menuju ke Purbalingga dan Purwokerto. Ada jalan pintas menuju ke Jawa Barat yang tidak melewati Purwokerto. Saya tahu jalur ini dari sopir travel. Jadi dari Klampok ke Banyumas dan lanjut ke Rowalo. Baru masuk Jabar ke Bajar. Jalanan bagus, karena jalur ini salah satu jalur alternatif utama.

Dari Rowalo kami menuju ke Pangandaran. Google Maps menujukkan jalan pintas yang belum saya kenal. Kami ikuti saja. Lewat jalan2 desa. Jalan kecil. Bukan hanya kami yang melewati jalan ini. Ada empat mobil plat Jabar yang konvoi bersama-sama. Lumayan ada teman. Maklum, jalanan sepi dan gelap. Jelek lagi jalannya.

Menikmati Sunrise di Pantai Pangandaran

Jalanan mulai bagus dan ramai setelah melewati pertigaan yang dari arah Banjar. Banyak motor2 yang menuju ke Pangandaran. Terus terang, baru pertama kali ini kami ke pantai Pangandaran.

Masuk gerbang pantai Pangandaran macet. Mobil2 dan motor ngantri beli tiket masuk. Untuk mobil, tiketnya Rp. 65rb. Mahal amir.

Saya tanya ke salah satu pedagang di warung tempat parkir, mana lokasi yang paling bagus untuk menikmati matahari terbit. Mereka menunjukkan lokasinya, yaitu Pantai Timur. Kami menuju ke sana dan parkir di salah satu sudut lapangan. Saya istirahat sambil menunggu masuk sholat subuh. Kami sholat di mushola samping pos Polisi Air.

Saya mencoba untuk istirahat dan tidur di mobil. Anak2 menikmati suasana pagi di pantai Pangandaran.

Menurut kami sih pantai Pangandaran kurang bagus. Terlalu ramai dan banyak sampahnya.

Jam tujuh lewat kami melanjutkan perjalanan.

Bodyrafting di Green Canyon

Royan jadi navigator, maklum saya belum tahu rute ini. Jalanan bagus dan sudah di beton. Di salah satu papan penunjuk jalan saya lihat ada tulisan Green Canyon, latar belakang coklat; tempat wisata. Saya minta Royan cek di internet tempat apa itu.

Foto2 dan informasi di internet bagus-bagus. Sepertinya lokasi yang wajib di kunjungi, apalagi rutenya dilewati. Berhentilah kami di Green Canyon, Cijulang.

Belum juga mobil di parkir, sudah ada orang yang menawari bodyrafting. Saya tidak tahu, jadi ikut saja dengan ‘calo’ marketing agen wisata itu. Kami diajak jalan ke atas dan berhenti di kantornya.

Ada lelaki muda yang menjelaskan paket2 wisata Green Canyong yang mereka tawarkan. Paket bidyrafting menyusuri Green Canyon selama 2-3 jam plus makan siang dan guide. Biayanya per 6 orang Rp. 1 jeti. Basah2an di air.

Kami lalu berdiskusi. Baju kami semua ada di koper dan diikat di rak atas mobil. Kalau basah2an berabe ambil baju gantinya. Akhirnya kami batal tidak body raffing dan ambil paket reguler naik perahu saja.

Kami parkir di lokasi parkir depan dramaga perahu wisata. Harga tiketnya terpampang jelas di baliho dan papan pengumuman. Satu perahu maksimal 6 orang biayanya Rp. 200rb. Lama perjalanan kurang lebih 1 jam. Kalau ada kelebihan waktu ada tambahan biaya.

Setelah membeli tiket, kami menuju ke dramaga perahu. Antrian kami nomor 48. Ada banyak perahu, tidak perlu antri lama. Langsung ada perahu yang siap kami naiki. Di perahu ada dua orang. Satu orang pemandu dan satu orang yang mengemudikan perahu.

Sepanjang perjalanan, si Pemandu ini banyak bercerita. Dia juga menawarkan untuk melihat2 lebih jauh masuk ke Green Canyon dengan tambahan biaya Rp. 100rb per setengah jam. Tapi kami harus basah2an. Di perahu sudah di sediakan baju pelampung.

Kami sempar ragu2 juga untuk basah2an lagi. Tapi, si pemandu gigih mengiming-imingi dengan pemandangan menawan di Green Canyon. Akhirnya, kami luluh juga. Apalagi banyak juga wisatawan lokal yang berenang ke bagian hulu sungai.

Green Canyong memang menawan. Rasnya tidak rugi tambah biaya untuk menikmati keindahan green canyon ini.

Liburan mendatang kami ingin mencoba paket 4 jam menyusuri Green Canyon. Wajib dicoba.

Menyusuri Pantai Selatan Jawa Barat

Badan masih terasa capek setelah berenang di sungai Cijulang. Tapi, perjalanan tetap harus dilanjutkan.

Arroyan jadi navigator lagi. Kami menuju ke Barat. Jalanan bagus. Sebagian aspal hotmix dan sebagian beton. Kondisi jalanan bagus seperti promosi Pak Gubernur Aher.

Setelah melewati Bandara kecilnya Bu Susi. Kami mulai menyusuri pantai. Jalan raya memang dekat dengan bibir pantai. Ombak laut selatan terlihat jelas dari mobil. Hari masih siang dan terik, membuat pemandangan pantai menjadi lebih menawan. Di salah satu pantai kami menepi, memarkirkan mobil kami di salah satu warung kecil di pingir pantai.

Pantainya masih sepi, tidak banyak pengunjung yang datang. Hanya beberapa mobil pemudik yang berhenti di pantai ini. Warung-warungnya juga masih sedikit.

Untungnya, kondisi ini membuat pantai selatan ini lebih bersih. Tidak banyak sampah yang terlihat. Kami pun berhenti dan mendekat ke bibir pantai. Ombak laut selatan yang besar menghempas ke pantai. Lautnya ‘ganas’, sangat berbahaya dan tidak memungkinkan untuk berenang di pantai ini. Anak-anak; Royan, Abim dan Yusuf pun bermain-main di pinggir pantai. Mereka bermain cukup lama. Baju yang baru saja kering dari sungai Cijulang, kini basah lagi. Malah sekarang basah dengan air asin. Yusuf basah kuyup dan celananya penuh pasir.

Meskipun anak-anak masih senang bermain-main di pantai, kami tetap harus melanjutkan perjalanan. Sudah lebih dari 24 jam perjalanna kami. Saya pun mulai terasa lelah dan ingin cepat-cepat sampai rumah. Akhirnya, kami pun melanjutkan perjalanan menyusuri pingir pantai ini.

Dalam perjalanan ini, banyak pantai-pantai yang menjadi lokasi wisata. Banyak orang yang menikmati liburan di pantai-pantai ini. Ada pantai yang pasirnya putih, ada pantai yang karang-nya terjal-terjal, ada pantai yang cukup tinggi sehingga pemandangan lautnya tampah lebih menawan. Sebenarnya kami ingin berhenti menikmati pantai-pantai ini, tapi kami sudah cukup lelah dan ingin cepat-cepat sampai.

Jalanan di sepanjang pantai ini bagus, sebagian besar sudah dibeton. Tapi di beberapa tempat masih ada jembatan-jembatan yang hanya cukup dilalui satu mobil. Kalau tidak salah ada dua atau tiga jembatan seperti ini. Posisinya sangat dekat dengan pantai. Ada juga jembatan-jembatan yang cukup panjang dan lebar. Banyak motor-motor dan muda-mudi yang berhenti di pingir jembatan untuk menikmati pemandangan laut selatan.

Pingir pantai selatan Jawa Barat belum terkenal sebagai lokasi tujuan wisata. Terlihat dari fasilitas wisatawan yang masih minim. Belum ada penginapan di sekitar sini. Warung-warung pun masih sederhana. Padahal pantainya menawan, tidak kalah dengan Pangandaran dan Pelabuhan Ratu.

Mengisi Bahan Bakar

Jalur pantai selatan masih sepi. Tidak banyak POM Bensin atau SPBU di jalur ini. Sebagian besar SPBU ada di ibukota kecamatan atau beberapa tempat yang cukup ramai. Jadi, saran saya kalau melalui jalur selatan ini upayakan full tank dan cukup untuk sekitar 400-500 km. Kalau isi tanki bansin sudah separo dan ketemu dengan SPBU, sebaiknya isi lagi sampai full. Jaga-jaga daripada kehabisan bensin di jalan malah berabe jadinya.

Perjalanan dengan Sisa-sisa Tenaga

Rute ini lebih jauh sekitar 200 km dari rute yang biasa saya lalui. Kami pun sudah di jalan lebih dari 30 jam. Lelah dan capek mulai terasa. Saya bawa mobil sendiri, Royan memang sudah bisa bawa mobil, tetapi saya belum berani memberi kepercayaan pada dia untuk membawa mobil di jalur yang masih ‘asing’ ini. Untungnya kondisi jalan bagus dan tidak ramai. Jadi mobil bisa melaju dengan santai dan lancar. Kecepatan mobil bisa mencapai >100 km/jam dalam kondisi sepi. Kalau ramai bisa 40-60 km/jam.

Rintangan di jalan yang menurut saya agak mengganggu adalah motor-motor yang berseliweran. Saya lihat banyak juga konvoi motor dengan jumlah 5 sampai puluhan motor. Rombongan motor biasanya lebih tertib, karena ada pemimpin dan pemandu jalannya. Yang biasa menjadi masalah adalah para pengendara motor lokal. Mereka ibaratnya ‘Rosi’ kampung. Naik motor nggak pakai helm, boncengan dan ngebut seperti di lintasan balap. Parah. Kalau ketemu dengan rombongan motor seperti ini, mendingan mengalah saja, Sing waras Ngalah…..!!!!

Perut keroncongan. Kami terpaksa makan siang di warung kecil setelah melewati kebun karet-nya PTPN VIII. Mengisi perut sambil istirahat. Selepas sholat asar baru kami berangkat lagi melanjutnya menyusuri pingiran pantai.

Kalau tidak salah ingat, sampai di suatu tempat/desa atau kecamatan yang namanya Cidaun, baru ada aba-aba belok kanan dari Google Maps. Di perempatan jalan ada penunjuk arah ke Pelabuhan Ratu ke kiri. Tadinya saya mau ambil jelan ke pelabuhan ratu dan lanjut ke Sukabumi. Terlalu jauh pikir saya. Saya sudah pernah lewat jalan ini. Kondisi jalan cukup bagus, tapi saya trauma dengan kemacetan Sukabumi-Bogor. Saya pikir kalau lewat Cianjur akan lebih lancar.

Kami berhenti istirahat di sebuah SPBU. Isi tanki full tank dan menunggu sholat magrib. Selesai menunaikan kewajiban dan baca-baca dzikir sore. Lanjut lagi perjalannannya.

Berbeloklah kami ke kanan ke arah Cianjur. Awalnya, saya ragu-ragu.
“Bener nih jalannya, Mas Royan?”
“Kok kecil dan sepi begini?”

“Bener….!!! Nih lihat di Maps!”

Kondisi jalanan berubah drastis. Jalanan menanjak ke arah gunung. Jalanan kecil dan berkelok-kelok. Apalagi matahari sudah tidak kelihatan dan tidak ada lampu penerangan jalan. Setelah melewati perkampungan, jalanan lanjut ke hutan. Pohon kanan kiri besar-besar dan ada jurang-nya. Kelokannya tajam-tajam lagi. Saya jadi ingat waktu melalui jalan Deandles, setelah melewati Gombong, jalanan berubah terjal dan lewat hutan.

Jalanan sepi. Saya hanya bertemu dengan truk dan bak terbuka. Hanya satu dua mobil pribadi yang saya salip di jalanan. Saya tanya lagi ke Royan, “Berapa jauh sampai ke Cipanas?”

“136 km lagi…!”

Walah… jauh juga. Dengan kondisi jalan seperti ini, paling 4 jam lagi baru masuk ke Cianjur.

Tengah malam, kami masih di jalanan berhutan. Mata sudah mulai mengantuk. Minuman air mineral ber-oksigen yang saya minum tidak mampu lagi menahan rasa kantuk ini. Akhirnya, di Cibeber saya berhenti di sebuah SPBU. SPBU-nya sepi. Saya parkir di dekat kantornya yang ada WC-nya.

Anak-anak sudah tidur sejak dalam perjalanan tadi. Mereka tetap tidur bahkan tidak sadar kalau mobilnya berhenti. Saya coba memejamkan mata, mengosongkan pikiran dan mencoba untuk terlelap walau sejenak.

Sejam atau dua jam saya istirahat. Lanjut perjalanan lagi. Oh…ya. Isi full tank dulu.

Macet di Jalur Puncak

Cianjur masuk ke kota, trus lanjut ke arah Cipanas. Jalanan mulai ramai dan tersendat. Masih jauh dari istana Cipanas jalanan semakin tersendat. Akhirnya macet-cet…

Astagfirullah.

Mau bagaimana lagi. Tidak ada pilihan.

Saya lupa kalau di puncak pas ada beberapa tempat yang longsor. Mobil besar, bus dan truk, tidak boleh lewat jalur ini. Saya lihat di peta, kemacetannya 36km dan waktu tempunya diperkirakan lebih dari satu jam.

Mobil-mobil berjalan merayap. Sesekali berhenti sesaat baru jalan lagi.

Titik kemacetannya ada di puncak pas, bagian yang longsor itu dan di Masjid Ta’awun, karena banyak mobil yang berhenti di sini.

Rasa ngantuk mulai menyerang lagi. Saya harus istirahat lagi nih.

Setelah melewati gerbang Gunung Mas dan pintu masuk taman Safari, saya minggir di sebuah SPBU. Istirahat lagi. Parkiran SPBU penuh.

Menjelang subuh saya sholat di SPBU ini.

Sudah dekat dengan rumah, tinggal beberapa km lagi. Mesti mata masih agak mengantuk, saya lanjutkan perjalanan.

Tidak beberapa lama jalanan mulai lancar dan masuk ke tol. Alhamdulillah. Perjalanan lancar jaya sampai ke Ciomas.

Mobil masuk garasi kurang lebih pukul setengah enam pagi.

Saya langsung mandi air hangat. Maklum, badan rasanya masih gatal-gatal kene air di Cijulan dan air asin pantai.

TEPAR……

Puasa Ngowes ke Tanjakan Sengked, Ciomas

Abim hobi naik sepeda. Meski di bulan puasa Ramadhan seperti ini, Abim tetap saja ngowes. Kali ini dia sudah siap-siap ngowes pagi-pagi sekali. Tujuannya adalah tanjakan Sengked Ciomas. Orang menyebutnya tanjakan setan, karena tinggi dan kemiringannya yang tidak mudah ditaklukan. Jaraknya kurang lebih satu km dan kemiringannya sampai 40o. Miring banget.

Tidak banyak orang yang bisa sekali naik bisa sampai atas tanpa berhenti. Dulu Abim tidak bisa nanjak tanpa berhenti, tapi sekarang dia sudah bisa nanjak ke tanjakan Sengked tanpa berhenti sampai atas.

Silahkan dicoba kalau ada yang punya stamina dan nyali.

Ini salah satu jagoan tanjakan Sengked. Pak Rudi.

Inspirasi dari Penemuan Sosrobahu Pak Tjokorda Raka Sukawati

Sosrobaru adalah salah satu penemuan anak bangsa yang sangat fonomenal di Indonesia. Inovasi karya pak Tjokorda Raka Sukawati ini memang luar biasa. Inovasi ini belum pernah dilakukan di mana pun di dunia.
Yang paling menarik bagi saya adalah inspirasi dari penemuan ini. Ide penemuan ini muncul ketika Pak Raka mendongkrak mobilnya di bagian tengah. Ternyata mobilnya bisa berputar hanya dengan dongkrak yang kecil. Dari peristiwa ini muncul ide untuk membuat ‘dongkrak’ untuk penjangga bentangan jalan tol. Kesulitan pun muncul, karena yang didongkrak beratnya 800 ton. Pak Raka dengan ketekunannnya berhasil menemukan alat untuk bisa mendongkrak dan memutar bentangan penyangga jalan tol. Luar biasa.

Saya jadi ingat dengan buah apel yang jatuh di kepala Newton. Buah apel ini menginpirasi dan menghasilkan hukum newton yang terkenal dan menjadi salah satu dasar dari hukum mekanika.

Cara Tradisional Membuat Kripik Tempeh untuk Industri Rumahan

Suasana Seram Penguburan Jenazah di Malam Hari

Noken, Tas Rajut Tradisonal Khas Papua

Noken adalah tas rajut tradisional dari Papua. Masyarakat Papua menggunakan noken untuk berbagai macam keperluan. Aslinya tas noken ini terbuat dari kulit kayu yang dipilin menjadi tambang kecil dan dirajut menjadi tas. Sekarang noken lebih banyak terbuat dari benang dengan warna bermacam-macam.

Ukuran tas noken bermacam2, ada yang berukuran kecil untuk membawa barang berukuran kecil. Ada juga yang berukuran besar yang bisa digunakan untuk mengendong anak kecil atau bahkan babi. Noken besar juga dipakai untuk membawa barang belanjaan dari pasar.

Masyarakat Timika, Papua juga punya cara unik untuk membawa noken, yaitu talinya dikaitkan ke kepala. Kalau kita biasanya diselempangkan ke badan. Noken yang yang kecil biasanya dikalungkan ke leher.

Harga noken bervariasi. Noken yang terbuat dari kulit kayu harganya mahal. Bahkan ada yang harganya sampai 5 juta rupiah. Noken dari benang harganya lebuh murah. Mulai dari beberapa puluh ribu sampai ratusan ribu.

Noken ini tradisi masyarakat Papua, karenanya pemda Papua mewajibkan pegawai negeri dan anak sekolah memakai noken setiap hari senin.

noken tas rajut khas papua

Ibu-ibu membawa tas noken di kepala untuk membawa barang belanjaan di pasar

noken tas rajut khas papua

Tas noken dari kulit kayu seharga Rp. 5 juta rupiah

noken tas rajut khas papua

Tas noken dari kulit kayu seharga Rp. 5 juta rupiah

noken tas rajut khas papua

Penjual tas noken asli papua

noken tas rajut khas papua

Bapak-bapak membawa tas noken yang dikalungkan di kepala.

Tamu dari Dinas Perindustrian Kab. Banjarnegara Mencicipi Edible Bioplastik

Pagi ini saya kedatangan beberapa orang tamu dari dinas perindustrian kab. Banjarnegara. Mereka sedang melakukan studi banding ke kota Bogor untuk melihat peluang-peluang pengembangan produk-produk agro industri dari Kab. Banjarnegara. Salah satu dari tamu tersebut adalah kawan satu tempat dulu ketika saya tinggal jadi marbot di Masjid Fatimatuzzahra.

Banyak hal yang kita diskusikan, salah satunya adalah mereka tertarik untuk mencoba memanfaatkan edible bioplastik. Kab. Banjarnegara memiliki potensi produk/jajanan/makanan yang diolah dari hasil pertanian, seperti: carica, salak dan buah-buahan lainnya.Salah satu produk olahannya adalah dodol. Dodol dari buah ini umumnya lengket. Nah, kalau bisa dibungkus dengan bioplastik, dodolnya tidak perlu dibuka bungkusnya, tetapi langsung dimakan seplastik-plastiknya.

Menarik sekali.