Tag Archives: Biofuel

Modifikasi Gugus Fungsional Selulosa

selulosa murni TKKS sawit

Modifikasi gugus fungsional selulosa murni dari TKKS

Melanjutkan lagi hasil-hasil percobaan yang lalu (selulosa murni dari TKKS). Selulosa murni masih sangat rigid, sulit untuk diajak ‘bergandengan’ dengan bahan-bahan lain. Selulosa murni lebih suka ‘bergandengan’ dengan selulosa sendiri. Karena itu, perlu dilakukan sedikit modifikasi pada gugus fungsional selulosa.

Alhamdulillah, setelah gagal berkali-kali, sejak beberapa bulan yang lalu, hari ini mulai ada titik terang. Setelah seharian kemarin saya dan teknisi kerja di lab, hasilnya sudah mulai terlihat. Sampel selulosa yang sudah diberi perlakuan kami analisa dengan FTIR, metode analisis gugus fungsional. Alhamdulillah, peak gugus fungsional yang kami inginkan sudah muncul. Sedangkan di kontrolnya tidak ada.

Selangkah lebih maju. Alhamdulillah.
Semoga bisa terus berhasil ketika selulosa ini ‘digandengkan’ dengan bahan-bahan lainnya.

Catatan dari diskusi “Algae to Fuels” di BalitbangKP BBP4BKP

image

Salah satu topik yang banyak diteliti juga untuk biofuel adalah pemanfaatan mikroalgae yang menghasilkan minyak. Minyak dari mikro algae ini diolah dan dimanfaatkan sebagai biofuel, contohnya biodiesel. Hari ini saya mengikuti diskusi di BBP4BKP yang membahas tentang pemanfaatan algae untuk fuel ini. Salah satu pembicara utamanya ada Dr. Oki Muraza, pakar biodiesel.

Indonesia yang memiliki garis pantai yang panjang memang sangat memungkinkan untuk membudidayakan algae/mikroalgae. Namun, beberapa diskusi muncul beberapa tantangan pemanfaatan algae sebagai biofuel antara lain adalah:

  • proses ektraksi yang masih sulit/mahal
  • rendemen yang rendah

Diskusi ini membahas salah satu metode ekstraksi menggunakan supercritical water. Ini pendapat saya pribadi setelah mendengarkan pemaparan metode dari pembicara. Metode ini membutuhkan suhu (300oC) dan tekanan yang tinggi (25 psi). Artinya energi yang dibutuhkan pun juga tinggi. Padahal harga minyak masih murah. Pertanyaan yang ada di kepala saya adalah, apakah metode ini ekonomis? apakah nilai ekonomi energinya bisa positif? Jangan-jangan energi yang dibutuhkan untuk mendapatkan biooil dengan energi biooilnya malah lebih banyak energi yang dibutuhkan?

Dibandingkan dengan bahan-bahan lain, seperti misalnya CPO, pendapat saya pribadi mikroalga masih bagus di tataran teori dan di atas kertas. Masih perlu dibuktikan di lapangan untuk aspek2 praktis dan nilai ekonomisnya.

Mikroalgae memiliki banyak kandungan lain yang juga bernilai, protein, vitamin, mineral dan senyawa untuk obat. Saya rasa nilai ekonomi senyawa ini lebih tinggi dari sekedar biofuel. Alangkah lebih baik jika senyawa-senyawa yang bernilai tinggi itu diambil terlebih dahulu, jika masih ada sisa/limbahnya dan mengandung banyak minyak baru dimanfaatkan sebagai biofuel.

Biological Pretreatment of Oil Palm Empty Fruit Bunches

Biological Pretreatment of Oil Palm Empty Fruit Bunches – International Symposium on Integrated Biorefinery (ISIBio)

My poster presentation for International Symposium on Integrated Biorefinery (ISIBio), Sept 17tg, 2015, Bogor, Indonesia. Please, visit their official website http://symposium-biorefinery.org/home.html.

Selulosa dari Tandan Kosong Kelapa Sawit

Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) volumenya luar biasa besarnya di Indonesia. TKKS bisa dimanfaatkan untuk bermacam-macam produk, tidak hanya sekedar kompos saja. Salah satu langkah awal pemanfaatan TKKS adalah mengekstrak selulosa.

Beberapa tahun yang lalu, saya sudah bisa membuat pulp dari TKKS. Prosesnya dengan sedikit memodifikasi teknik yang banyak dipakai di industri pulp. Saya juga mencoba membuat pulp dengan memanfaatkan jamur.

image

Pulp dari tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

Continue reading

Tankos Sawit Kini Tidak Gratis Lagi

Tengah bulan lalu saya diajak jalan2 oleh teman melihat2 kebun sawit di sisi barat P. Sumatera. Ada banyak yang saya lihat, namun yang membuat saya sedikit terkejut adalah tandan kosong kelapa sawit atau tankos. Ternyata kini tankos tidak gratis lagi.

Kurang lebih sepuluhan tahun yang lalu ketika awal-awal saya kerja dengan tankos. Tankos sama sekali tidak ada harganya. Bahkan ketika itu pabrik sawit membuat incinerator untuk membakar tankos. Ketika pembakaran tankos dilarang. Tankos ditumpuk saja.

Tahun-tahun itu saya meyakini konsep ‘dari tanah kembali ke tanah’. Tankos dibuat kompos dan dikembalikan ke lahan sawit. Harga tankos masih nol dan kompos sawit menjadi ekonomis. Bertahun-tahun kemudian, berdasarkan cerita pekebun, aplikasi kompos tankos mulai menunjukkan hasilnya. Tankos yang diaplikasikan ke tanah, baik sebagai mulsa atau pun kompos memberikan performa produksi yang lebih baik daripada pemupukan kimia saja.

Tankos juga memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai berbagai macam produk. Salah satunya bioethanol.

Sejak awal saya sudah menduga jika kelak tankos ini akan ada harganya. Ketika banyak orang yang mencari2, maka akan berlaku hukum ekonomi. Tankos akhirnya ada harganya.

Petani menceritakan ke saya jika ketika mereka setor tbs ke pabrik mereka pulangnya membawa tankos. Tankos ini tidak gratis. Ada harganya, kira2 Rp. 300rb per truk. Andaikan satu truk isinya pool 5 ton, harga tankos per kgnya sebesar Rp. 60. Harga ini belum termasuk ongkos kirim, ongkos angkat2 dan ongkos encer.

Secara kasar, biaya bahan saja jika tankos dibuat menjadi kompos harganya akan menjadi Rp. 120/kg kompos. Jika dibuat menjadi ethanol kira2 menjadi Rp. 240 – 300 per liter ethanol. Ini belum ditambah dengan biaya aktivator, tenaga kerja, energi, investasi, dll.

Harga tankos sudah keniscayaan karena mengikuti hukum ekonomi. Selama harga ini masih lebih rendah daripada harga produk turunannya, harga ini tidak menjadi masalah. Tantangannya adalah membuat proses yang lebih ekonomis dan efisien, sehingga harga produk turunan tankos bisa ditekan serendah mungkin.

GastrofaC: Minyak Atsiri untuk Penghematan Bensin

image

Hari ini saya kepingin mencoba salah satu inovasi dari Balittro yang menggunakan minyak atsiri sebagai bahan aditif untuk menghemat penggunaan BBM. Karena kendaraan saya minum bensin saya coba yang GastrofaC yang diformulasikan khusus untuk motor bensin/mobil bensin.

Klaim dari inovatornya yang saya peroleh dari website Balittro bahwa produk ini bisa menghemat BBM dari 20-40%. Ini luar biasa lho. Mestinya diapresiasi oleh pemerintahan sekarang meningkatkan harga bensin sebesar Rp. 1.500. Kalau klaim ini terbukti benar, yang minimal saja 20%, bisa mengurangi beban kenaikkan BBM.

Continue reading

PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

Artikel lain tentang sampah, klik di sini: SAMPAH

Mengapa bioetanol masih diperlukan untuk Indonesia


Bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BNN) atau biofuel masih dianak-tirikan di Indonesia. Entah apa sebabnya. Padahal, peranan bioetanol tidak bisa digantikan oleh biofuel yang lain, seperti: biodiesel atau biogas. Bioetanol masih diperlukan untuk Indonesia.

Ilustrasi gampangnya seperti ini. Sebagian besar konsumsi BBM digunakan di sektor transportasi. Sektor industri dan sektor yang lain konsumsinya lebih kecil. BBM yang banyak dipakai saat ini ada dua: solar (mesin diesel) dan bensin. Berdasarkan data dari kementian ESDM, konsumsi bensin lebih besar daripada konsumsi solar. Jadi ada dua jenis mesin yang banyak dipakai saat ini, yaitu mesin diesel dan mesin bensin. Mesin diesel dipakai untuk kendaraan berat, angkutan umum, dan mobil pribadi. Sedangkan bensin umumnya untuk mobil pribadi dan sepeda motor.

Biofuel alternatif untuk mengantikan solar adalah biosolar atau biodiesel. Biosolar bisa dibuat dari minyak-minyak nabati, semperti minyak sawit (CPO), minyak jlantah, minyak jarak, dan minyak nabati lainnya. Biodiesel dari CPO yang saat ini banyak dipakai di Indonesia.

Nah, untuk bensin biofuel alternatifnya adalah bioetanol. Mesin bensin beda dengan mesin diesel dan tidak bisa memakai bahan bakar solar atau biosolar. Itulah mengapa pengembangan bioetanol masih tetap diperlukan.

Argumen berikutnya adalah populasi kendaraan yang menggunakan bensin sangat besar. Terutama sepeda motor. Menurut artikel di Bisnis Indonesia (tgl 15 desember 2013) populasi kendaraan di Indonesia tidak kurang dari 100 juta unit (hampir setengah penduduk Indonesia). Dari jumlah itu 80 juta unit adalah sepeda motor. Kabar terbaru di koran kompas bahkan sudah mencapai 94 juta unit. Jumlah ini sangat-sangat besar. Konsumsi bensin nasional juga sangat besar mencapai 116.35 MMBSY (…ngaak ngerti artinya apa…).

kendaraan bermotor memenuhi jalan di Indonesia
(foto nyomot dari kompas.com)

Yang lebih mengerikan lagi, populasi motor Indonesia diperkirakan akan meningkat pesat dan exponensial. Lihat gambar di bawah ini yang saya olah dari data BPS. Kalau tidak dikendalikan jumlah sepeda motor akan meledak dalam beberapa tahun lagi. Jalan-jalan akan penuh dengan motor. Artinya, kebutuhan bioetanol untuk mensubstitusi kebutuhan bensin untuk bahan bakar sepeda motor masih sangat diperlukan.

motor di Indonesia

Pertumbuhan motor di Indonesia


Continue reading

Kebutuhan Biofuel Indonesia 2014 Diperkirakan Mencapai 45 juta kiloliter. Gimana memenuhinya….?


Dampak dari diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM No. 25 tahun 2013 beberapa waktu yang lalu yang mewajibkan sektor industri, transportasi, dan pembangkit listrik menggunakan 10% biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) menyebabkan peningkatan kebutuhan biofuel di tahun 2014. Kementrian ESDM memperkirakan kebutuhan biofuel di tahun 2014 akan mencapai 45 juta kiloliter dengan rincian 20 juta kiloliter untuk transportasi, 17 juta kiloliter untuk industri, dan 8 juta kiloliter untuk pembangkit listrik.

Sayangnya data tersebut tidak dirinci berapa untuk masing-masing biofuel, seperti: biodiesel, bioetanol, dan biogas. Kalau dilihat dari data tahun-tahun sebelumnya, hanya biodiesel yang benar-benar terealisasi digunakan untuk sebagai pencampur solar. Sedangkan bioetanol sama sekali tidak ada penyerapannya di Indonesia. Biogas juga belum digunakan untuk sektor transportasi atau untuk bahan bakar lainnya. Kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas masih menggunakan gas alam, bukan bioetanol.
Continue reading