Hari itu saya baru saja menyelesaikan pekerjaan pengomposan seresah tebu di kebun Glenmore, dekat Kec. Genteng Banyuwangi. Seminggu di kebun, badan rasanya sudah seperti ikan asin. Biasanya kalau kerja di lapangan saya bawa satu pasang pakaian lapang khusus untuk kerja. Mau kerja seminggu atau dua minggu pokoknya pakaiannya itu. Tidak pernah dicuci sebelum selesai kerja. Keringat, debu, asep, semua numpuk jadi satu. Kalau pernah ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan), pasti bisa membayangkan baunya. 🙂
Badan rasanya seperti habis digebukin. Capek banget. Saya dianter orang kebun sampai terminal Jember. Saya melanjutkan perjalanan ke Surabaya dengan naik bus umum. Sampai di Surabaya sudah tengah malam. Terpaksa saya cari penginapan sedapatnya. Saya menginap di losmes kelas melati. Horor suasananya. Meski kamar2nya terkesan sedikit kumuh dan mesum, saya tetap ambil, yang penting bisa ‘merem’ sejenak.
Esok harinya saya mampir ke dinas, ketemu seseorang. Selesai dari sana saya bergegas ke Stasion Turi. Saya cuma diberi tiket kereta Agro Bromo dari stasiun Turi ke Gambir. Singkat cerita sampailah saya di Gambir menjelang magrib.
Badan letih. Isi pikiran cuma satu, cepat sampai rumah, berendam air panas, makan masakan istri, suruh mijitin anak2, lalu molor sepuasnya. Saya segera beli tiket KRL Eksekutif Pakuan jurusan Bogor (waktu itu baru ada Pakuan). Saya nunggu di peron. Duduk di bangku sambil ngantuk-ngantuk.
Cukup lama saya menunggu. Sempat terlelap sejenak, sampai akhirnya datang kereta Pakuan yang ditunggu. Saya segera naik, begitu pintu kereta terbuka. Saya cari tempat duduk yang masih kosong agar bisa melanjutkan mimpi tadi. Saya merasa tenang tidur, karena Bogor ada di ujung rel kereta.
Tanpa memperdulikan orang2 yang berdesak2kan di kereta, saya melanjutkan mimpi yang sempat terpotong. Tak terasa sampailah kereta di stasion ujung. Orang2 berhamburan keluar kereta.
“Stasion terakhir…!!!! Bekasi Stasion terakhir…!!!! ” teriak petugas kereta.
Apa……!!!!!! Kaget setengah mati saya. Ternyata saya salah naik kereta. Kereta Pakuan yang saya naiki bukan ke Bogor tapi ke Bekasi.
“Astagfirullah”…..
Saya bertanya ke loket, menanyakan kereta yang ke Bogor.
“Kereta ke Bogor sudah habis, Mas, ” jawabnya singkat.
Ampun, deh. Masak saya harus nginap di stasion. Saya mencoba menenangkan diri. Hampir saya putus asa. Saya coba tanya lagi ke petugas kereta yang lain.
“Naik kereta ini saja, Mas. Kereta ini parkir di Bogor.” sarannya.
Alhamdulillah. Masih ada jalan pulang ke Bogor.
Saya naik ke kereta. Cuma ada beberapa orang saja. Kereta kosong melompong. Saya bisa melihat ujung gerbong sana. Lampu kereta yang remang2 semakin membuat suasana mencekam.
Waktu itu belum ada smartphone, belum ada Android, belum ada Facebook. Benggong saja saya di kereta. Tapi, kali ini saya tidak bisa memejamkan mata. Saya waspada penuh, bukan takut setan tapi khawatir sama orang yang berwatak setan.
Akhirnya sampailah saya di stasion Bogor. Jarum jam menunjuk angka 12. Badan rasanya remuk, mata sudah 1 watt. Saya melangkah gontai menyusuri peron2 kosong. Di depan taman topi, saya naik ojek sampai rumah.
Alhamdulillah. Akhirnya……badan bisa diletakkan. Tak perlu waktu lama, saya kembali ke alam mimpi.
****
Hanya gara2 tidak lihat jurusan kereta, saya salah naik kereta. Pinginnya cepat malah jadi super lambat.
Pengalaman konyol yang tidak pernah terlupakan.