Umroh: Tawaf, Sa’i dan Tahalul
Dari rukun Yamani kami berjalan ke arah rukun Hajar Aswad. Rukun ini adalah pojok2 Ka’bah. Tawaf dimulai dari rukun Hajar Aswad. Ustad Rofi’i memimpin kami melakukan tawaf ini. Sunnahnya, tawaf diawali dengan mencium hajar aswad. Susasana yang sangat ramai tidak memungkinkan semua orang menciumnya. Sejajar dengan hajar aswad ini ada lampu hijau. Lampu ini yang menjadi tanda dimulainya Tawaf. Ustad Rofi’i mengangkat tangannya tinggi2 dan mengarahkannya ke hajar aswad sambil mengucapkan: “Bismillahi Allahuakbar,” lalu mengecup tangan. Kami semua mengikuti apa yang dilakukan oleh Ustad Rofi’i. Putaran pertama sampai ketiga disunnahkan untuk berlari2 kecil, namun kali ini sama sekali tidak memungkinkan bagi kami untuk berlari2 kecil. Kami hanya bisa berjalan berdesak2an dengan jama’ah yang lain.
Ustad Rofi’i membimbing kami membaca kalimat tahmid, tahlil dan takbir. Kami baca berulang2. Kami berjalan di lingkaran luar. Kami melewati maqam Ibrahim. Berjalan terus sampai melewati hijr Ismail. Setelah dekat dengan rukun Yamani, ustad Rofi’i memberi aba2 lagi, beliau mengangkat tanggannya dan membaca sama seperti di awal tawaf. Namun, kali ini ucapan dzikirnya berubah:
“Robbana atina fiddunya khasanah, wafil akhkhiroti khasanah, waqina adzabannar”
Kami pun semua mengikuti apa yang diucapkan Ustad Rofi’i.
Putaran kedua kami masih bergabung dengan jamaah. Di putaran ketiga tidak terasa kami terpisah dari jama’ah. Kami mengikuti arus dan lebih mendekat ke arah Ka’bah. Di putaran keempat kami sangat dekat dengan Ka’bah. Di rukun Yamani, kami menyentuh dan mengusap dinding Ka’bah yang sedikit terbuka. Tapi kami tidak bisa mendekat ke hajar aswad. Kerumuman orang benar2 penuh dan berdesak2kan. Di dalam hijr ismail pun penuh sesak, di pintu masukknya di jaga askar. Sangat sulit bagi jama’ah untuk masuk atau pun keluar.
Putaran berikutnya giliran Pak Gunawan yang ke rukun Yamani. Beliau menciumi dinding Ka’bah sepuas2nya. Dinding dan kain kiswah penutup Ka’bah wangi sekali. Wanginya menempel di tangan-tangan kami.
Dengan bantuan karet gelang kami menghitung putaran tawaf kami. Setiap selesai satu putaran karet gelang dipindahkan dari tangan kiri ke tangan kanan. Begitu seterusnya. Jika semua karet sudah berpindah, berarti sudah tujuh putaran.
Putaran terakhir kami mengarah ke lingkaran paling luar. Kami mencari tempat untuk bisa sholat dua rakaat. Tapi banyak askar yang di pingiran area tawaf. Tidak boleh ada jamaah yang berhenti apalagi sholat di area tawaf. Kalau ada yang sholat pasti akan didorong dan diusir oleh Askar.
“Haji… haji… tariq…!!!!!!” Begitu teriak askar2 itu.
Kami pun berjalan ke arah luar. Ada petunjuk yang mengarahkan ke tempat sa’i ke bukit Saffa. Kami sholat dua rakaat di jalan itu. Di pinggir2nya ada drum2 tempat air zam-zam. Kami ambil gelas dan minum air zam-zam. Sebagian airnya kami siramkam ke atas kepala kami.
Kami sudah terpisah dengan jamaah. Kami hanya berempat; saya, Umminya Royan, Pak Gunawan dan Pak Totok. Setelah istirahat sebentar, kami melanjutkan ke tempat sa’i. Kami mengikuti arus orang2 yang berpakaian ihram. Kami yakin mereka pasti akan melakukan sa’i.
Jalan menuju tempat sai cukup lebar. Mungkin lebih dari 50 meter dan semua penuh orang berjalan satu arah. Jalanan sedikit menanjak. Diujung jalan itu ada tempat datar lalu ada tangga turun. Di kejauhan ada papan besar tertulis Saffa start here. Berarti itu adalah lokasi bukut safa tempat dimulainya ibadah Sai.
Kami berjalan mendaki ke Bukit Safa. Bukit Saffa saat ini sangat berbeda dengan jaman Siti Hajar dulu. Tempat sa’fi ini sudah masuk ke dalama komplek Masjidil Haram. Lantainya dari marmer halus dan dingin. Tempat Sa’i ini ada tiga lantai; lantai dasar, lantai satu dan lantai dua. Bukit Saffa masih tersisa bagian atasnya. Namun bagian puncak bukit saffa ini sekarang dikelilingi oleh tembok kaca. Jama’ah tidak bisa lagi naik ke puncak bukitnya lagi. Bagian ini berlubang sampai ke lantai yang paling tinggi. Jadi jamaah yang berada di lantai 1 dan 2 masih bisa melihat ke bawah ke puncak bukit Saffa.
Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, ketika naik kami membaca awal surat …. … Lalu membaca takbir tiga kali. Di sisi puncak bukit itu kami menghadap ke arah Ka’bah dan membaca do’a:
……….
Dari puncak bukit safa kami menuju ke bukit Marwa. Jalur sa’i ini cukup lebar, mungkin lebih dari 50 meter lebarnya. Di bagian tengahnya ada jalur yang dikhususkan untuk orang-orang tua dan orang yang menggunakan kursi roda. Di putaran pertama sampai ke tiga kami berjalan setengah berlari sambil berdzikir apa saja. Saya menggucapkan kalimat tahmid, tahlil dan takbir, sesekali kami membaca sholawat untuk Nabi.
Di beberapa tempat sepajang jalur Sa’i ada tempat untuk minum air Zam-zam. Jadi, kalau ada jama’ah yang capai dan haus bisa berhenti untuk minum air zam-zam ini. Perjalanan dari satu bukit safa ke bukit Marfa dihitung satu putaran. Perjalanan dari bukit Marwa ke bukit safa juga dihitung satu putaran. Semuanya ada tujuh putaran. Dimulai dari bukit safa dan akan berakhir di putaran ke tujuh di bukit Marwa.
Sepanjang perjalanan sa’i ini kami membayangkan bagaimana dulu Siti Hajar yang baru saja melahirkan Ismail berlari-lari mencari air di antara dua bukit ini. Bukitnya batu-batu terjal. Cuaca panas dan terik. Dalam kondisi yang lemah itu terus mencari air di tengah gurun pasir yang gersang. Subhanallah.