Tag Archives: kisah nyata

Kisah Nyata LGBT; Kawan Sendiri

Cerita ini adalah kisah nyata yang saya tahu sendiri. Temen-temen saya masa kecil, tetangga dan temen SMA sebagian tahu tentang kisah ini. Kisah tentang temen2 kita yang lahir normal, tetapi kemudian mengindap LGBT.

**Kisahnya Isro’i**

Namanya persis banget dengan nama saya. Dia adalah karyawan Bapak yang membantu berjualan di warung. Ada empat orang karyawan Bapak; 2 laki2 dan 2 perempuan. Waktu itu saya masih SD, kalau tidak salah kelas 3-4 SD. Dua orang laki2 ini namanya Pandhil dan Isro’i. Mereka lama kerja dengan Bapak, tidur di rumah kami dan sudah seperti saudara sendiri. Saya tahu banget seyakin-yakin yakinnya kalau Isroi’i adalah lekaki normal tulen. Orientasi sex-nya normal. Suka pada perempuan dan suka mengoda karyawan kami yang wanita. Kalau libur sekolah, kadang2 saya ikut pulang ke desanya di Kaliangkrik.

Karena suatu sebab, Isro’i keluar kerja dan merantau ke Jakarta. Kabarnya dia bekerja di Jakarta selama beberapa bulan atau setahun. Saya tidak tahu persis di mana dan kerja apa. Kira2 setahun lebih Isro’i datang kembali ke rumah untuk minta kerja lagi. Bapak mengijinkan dia kerja di warung kami lagi.

Tapi kini Isro’i bukan seperti Isro’i yang dulu lagi. Bicaranya ‘kemayu’, bibirnya kalau ngomong mencang-mencong, dan kalai bicara badannya tidak diam. Sama Bapak dan tetangga, Isroi’i sering digodain karena ‘kemayuannya’.

Kalau dia tanya ke pelanggan, posisinya sok akrab dan tangannya sambil ‘jowal-jawil’ ke pelanggan. Apalagi kalau yang datang laki-laki ganteng atau orang2 Cina yang putih2, Isro’i semangat sekali. Kalau jalan kadang2 dengan sengaja dia menyenggol sedikit pelanggan2 yang duduk di bangku.

Perangainya sedikit ‘njijikki’, ‘ngilani’ tapi lucu. Isro’i sering digodain oleh pelanggan2 warung kami. Isro’i pun tidak marah, malah senang dan semakin ‘menthel’.

Ternyata Isroi’i AC DC, meski dia terlihat ‘kemayu’ dan suka laki2 ganteng. Isro’i juga masih mau dengan gadis2. Isro’i juga punya pacar. Setelah sekian lama kerja di kami, Isroi’i keluar dan menikah dengan pacarnya. Dia kembali ke desa dan menjadi petani. Isro’i punya anak. Sesekali kalau ke kota Isro’i mampir ke rumah.

Saya sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Terakhir ketemu Isro’i sudah terlihat tua dan tidak ‘sementhel’ dulu lagi.

Alhamdulillah

***Kisahnya Si Bujangan***

Waktu saya kecil, banyak anak2 yang seumuran dengan saya. Sebut saja; Bambang, Sholihin, Juju, Hari, Agus, Gotri, Wawan dan beberapa temen yang saya lupa namanya. Ada satu temen lagi namanya sebut saja ‘Si Bujangan’. Orang tuanya cukup berada dan mempunyai truk dan televisi. Sekampung hanya dia yang punya tipi. Kalau malam kami, tetanga2, nonton tipi dengan cara mengintip dari jendela nako. Kita nonton dari luar. Acaranya Aneka Safari, Dunia dalam Berita. Kalau hari minggu ada Si Unyil dan Pak Tino Sidin.

Si Bujangan seumur dengan saya. Anaknya pintar. Jadi kami sering main bareng. Ketika SMA kami masuk SMASA Mgl meski tidak sekelas. Waktu itu Si Bujangan punya motor bebek Honda 70 warna merah. Kalau minggu kita boncengan berdua main ke Kopeng, Sawangan, Curug Silawe, Curug Sekar Langit dan objek wisata seputaran Megelang. Akrab banget lah kita.

Saya yakin seyakin-yakinnya kalau sohib saya ini laki2 normal tulen. Tidak ada tanda2 dia LGBT. Di kampung saya ada juga yang seperti itu, kebetulan namanya sama. Tapi Si Bujangan normal.

Kelas dua SMA dia ke jurusan A3. Dan dia punya teman karib baru. Nama pangggilannya sama persis seperti nama sohib saya ini. Rumahnya di desa Nambangan. Kami jadi jarang main bareng lagi. Saking akrabnya sohib saya dan teman barunya ini sering menginap di rumahnya Si Bujangan. Kami melihatnya mereka sahabat karib sekali.

Si Bujangan kuliah di UGM dan saya di Unjedir alias UNSOED. Kami jadi sangat jarang ketemu. Ketika pulang ke rumah, teman di kampung memberi tahu kalau Si Bujangan sudah berubah. Desas-desus di kampung, persahabatan si Bujangan bukan persahabatan biasa dan normal seperti kami dulu. Orang tuanya dan keluarganya mengetahui ‘kisah kasih haram’ mereka. Akhirnya keluarganya mengusir kekasihnya itu dan melarang mereka bertemu. Bahkan si Bujangan di kurung di rumahnya. Meski demikian mereka tetap menjalin hubungan. Orang tuanya semakin jengkel, Si Bukangan diasingkan ke Jakarta.

‘Penyakit’ Si Bujangan semakin parah. Kalau menurut saya dia mengalami depresi berat. Ketika saya coba menenggok dia atas saran kakaknya. Dia tidak kenal saya lagi. Aneh.

Proteksi keras orang tuanya dan keluarganya tidak bisa menyembuhkannya justru membuat lebih parah dan ‘komplikasi’ sampai sekarang.

Terus terang, kami; temen2nya waktu kecil ikut sedih. Sedih bercampur jengkel dan marah. Tertama pada temen Kelas 2 Smansa-nya yang sudah menulari sahabat kami yang dulu normal menjadi ‘tidak normal’ lagi.

Apakah kalian, temen2 FB, mau dan rela jika ada saudara kita, temwn kita, sahabat kita, karib kita yang menjadi LGBT?????

Ibu Tua dan Anak Laki-laki Kecil

Semalam sekitar pukul 11.30 saya pulang melewati jalan Ciomas. Jalan yang biasanya macet ini terasa lenggang. Hanya beberapa motor, angkot dan mobil yang melintas. Saya naiki motor supra saya pelan-pelan.
Sampai di jembatan Ciomas dari kejauhan terlihat ada seorang ibu tua mengandeng seorang anak sesekali melambai ke kendaraan motor yang melintas. Tidak ada yang memperdulikannya. Ketika sudah dekat, ibu tua itu pun melambai ke arah saya dan berkata:
“mau numpang, pak!” serunya.

Awalnya saya juga tidak peduli, sekitar 50-an meter saya menepi dan berhenti. Saya perhatikan ibu-ibu itu tampak lelah dan berjalan gontai. Anak kecil yang berjalan disampingnya pun terlihat kelelahan. Lalu saya balik arah dan menghampiri si ibu.

“Ibu mau ke mana?” tanya saya
“Saya mau pulang ke sana,” Si Ibu menyebut sebuah nama desa, saya lupa detailnya.
“Di mana itu?”
“Ciper masih ke atas lagi”,
“Jauh…..itu, Ibu dari mana?”
“Saya baru dari Parung, jalan kaki sejak magrib tadi,”
“Lho kenapa ….?”
“Iya…kehabisan ongkos. Saya baru pulang dari uwaknya anak ini. Bapaknya sudah tidak ada, setiap bulan saya mengantarnya ke Uwaknya di Parung. Hari ini kehabisan ongkos dan terpaksa jalan kaki,”
“Dari Parung…..?????!!!!”

Si Ibu menggangguk sedih. Saya melirik ke anak laki2 kecil di sampingnya, wajahnya sayu dan sedih. anak itu pakai kaos ipin upin, celana pendek dan sandal jepit.
Parung jauh sekali dari sini 30-40 kiloan.

“Masya Allah…..”

Saya mengambil dompet saya, di dalamnya cuma ada beberapa lembar. Saya kasih ke ibu itu sebagian; sedikit ongkos untuk naik angkot.

“Ibu naik angkot saja. Ini sudah malam sekali.”

Ibu itu menerimanya tanpa berkata apa-apa. Seperti ada yang ingin dia ucapkan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Matanya berkaca-kaca.

Saya segera beranjak pulang. Ketika itu saya tidak membawa apa-apa. Sampai di rumah saya masih kepikiran dengan anak kecil itu. Lalu saya mencari secarik kertas, saya tulisakan nama temen yang bekerja di lembaga zakat. Saya tuliskan nomornya di situ. Saya berharap anak kecil itu bisa mendapatkan hak-nya dari zakatnya orang-orang kaya.

Saya pacu lagi motor saya ke tempat saya bertemu dengan ibu dan anak itu tadi. Sayang sekali, jalanan sepi. Saya coba susuri jalan ciomas sejauh setengah kilo meter. Namun nihil. Mungkin Si Ibu itu sudah naik angkot ke Ciper.
Saya yakin ibu dan anak itu bukan pengemis. Saya hampir hafal pengemis dan pemulung yang beroperasi di sekitar perumahan saya. Baru pertama kali saya ketemu dengan ibu dan anak ini. Mereka orang miskin tidak meminta-minta dan perlu uluran tangan para muzaki. Saya hanya bisa berdoa; semoga Allah memberi kecukupan rizqi dan barokah pada ibu dan anak kecil itu. Amin Ya Robb Yang Maha Kaya.