Tag Archives: Magelang

Kupat Tahu Pelopor, Magelang

Kisah Nyata LGBT; Kawan Sendiri

Cerita ini adalah kisah nyata yang saya tahu sendiri. Temen-temen saya masa kecil, tetangga dan temen SMA sebagian tahu tentang kisah ini. Kisah tentang temen2 kita yang lahir normal, tetapi kemudian mengindap LGBT.

**Kisahnya Isro’i**

Namanya persis banget dengan nama saya. Dia adalah karyawan Bapak yang membantu berjualan di warung. Ada empat orang karyawan Bapak; 2 laki2 dan 2 perempuan. Waktu itu saya masih SD, kalau tidak salah kelas 3-4 SD. Dua orang laki2 ini namanya Pandhil dan Isro’i. Mereka lama kerja dengan Bapak, tidur di rumah kami dan sudah seperti saudara sendiri. Saya tahu banget seyakin-yakin yakinnya kalau Isroi’i adalah lekaki normal tulen. Orientasi sex-nya normal. Suka pada perempuan dan suka mengoda karyawan kami yang wanita. Kalau libur sekolah, kadang2 saya ikut pulang ke desanya di Kaliangkrik.

Karena suatu sebab, Isro’i keluar kerja dan merantau ke Jakarta. Kabarnya dia bekerja di Jakarta selama beberapa bulan atau setahun. Saya tidak tahu persis di mana dan kerja apa. Kira2 setahun lebih Isro’i datang kembali ke rumah untuk minta kerja lagi. Bapak mengijinkan dia kerja di warung kami lagi.

Tapi kini Isro’i bukan seperti Isro’i yang dulu lagi. Bicaranya ‘kemayu’, bibirnya kalau ngomong mencang-mencong, dan kalai bicara badannya tidak diam. Sama Bapak dan tetangga, Isroi’i sering digodain karena ‘kemayuannya’.

Kalau dia tanya ke pelanggan, posisinya sok akrab dan tangannya sambil ‘jowal-jawil’ ke pelanggan. Apalagi kalau yang datang laki-laki ganteng atau orang2 Cina yang putih2, Isro’i semangat sekali. Kalau jalan kadang2 dengan sengaja dia menyenggol sedikit pelanggan2 yang duduk di bangku.

Perangainya sedikit ‘njijikki’, ‘ngilani’ tapi lucu. Isro’i sering digodain oleh pelanggan2 warung kami. Isro’i pun tidak marah, malah senang dan semakin ‘menthel’.

Ternyata Isroi’i AC DC, meski dia terlihat ‘kemayu’ dan suka laki2 ganteng. Isro’i juga masih mau dengan gadis2. Isro’i juga punya pacar. Setelah sekian lama kerja di kami, Isroi’i keluar dan menikah dengan pacarnya. Dia kembali ke desa dan menjadi petani. Isro’i punya anak. Sesekali kalau ke kota Isro’i mampir ke rumah.

Saya sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Terakhir ketemu Isro’i sudah terlihat tua dan tidak ‘sementhel’ dulu lagi.

Alhamdulillah

***Kisahnya Si Bujangan***

Waktu saya kecil, banyak anak2 yang seumuran dengan saya. Sebut saja; Bambang, Sholihin, Juju, Hari, Agus, Gotri, Wawan dan beberapa temen yang saya lupa namanya. Ada satu temen lagi namanya sebut saja ‘Si Bujangan’. Orang tuanya cukup berada dan mempunyai truk dan televisi. Sekampung hanya dia yang punya tipi. Kalau malam kami, tetanga2, nonton tipi dengan cara mengintip dari jendela nako. Kita nonton dari luar. Acaranya Aneka Safari, Dunia dalam Berita. Kalau hari minggu ada Si Unyil dan Pak Tino Sidin.

Si Bujangan seumur dengan saya. Anaknya pintar. Jadi kami sering main bareng. Ketika SMA kami masuk SMASA Mgl meski tidak sekelas. Waktu itu Si Bujangan punya motor bebek Honda 70 warna merah. Kalau minggu kita boncengan berdua main ke Kopeng, Sawangan, Curug Silawe, Curug Sekar Langit dan objek wisata seputaran Megelang. Akrab banget lah kita.

Saya yakin seyakin-yakinnya kalau sohib saya ini laki2 normal tulen. Tidak ada tanda2 dia LGBT. Di kampung saya ada juga yang seperti itu, kebetulan namanya sama. Tapi Si Bujangan normal.

Kelas dua SMA dia ke jurusan A3. Dan dia punya teman karib baru. Nama pangggilannya sama persis seperti nama sohib saya ini. Rumahnya di desa Nambangan. Kami jadi jarang main bareng lagi. Saking akrabnya sohib saya dan teman barunya ini sering menginap di rumahnya Si Bujangan. Kami melihatnya mereka sahabat karib sekali.

Si Bujangan kuliah di UGM dan saya di Unjedir alias UNSOED. Kami jadi sangat jarang ketemu. Ketika pulang ke rumah, teman di kampung memberi tahu kalau Si Bujangan sudah berubah. Desas-desus di kampung, persahabatan si Bujangan bukan persahabatan biasa dan normal seperti kami dulu. Orang tuanya dan keluarganya mengetahui ‘kisah kasih haram’ mereka. Akhirnya keluarganya mengusir kekasihnya itu dan melarang mereka bertemu. Bahkan si Bujangan di kurung di rumahnya. Meski demikian mereka tetap menjalin hubungan. Orang tuanya semakin jengkel, Si Bukangan diasingkan ke Jakarta.

‘Penyakit’ Si Bujangan semakin parah. Kalau menurut saya dia mengalami depresi berat. Ketika saya coba menenggok dia atas saran kakaknya. Dia tidak kenal saya lagi. Aneh.

Proteksi keras orang tuanya dan keluarganya tidak bisa menyembuhkannya justru membuat lebih parah dan ‘komplikasi’ sampai sekarang.

Terus terang, kami; temen2nya waktu kecil ikut sedih. Sedih bercampur jengkel dan marah. Tertama pada temen Kelas 2 Smansa-nya yang sudah menulari sahabat kami yang dulu normal menjadi ‘tidak normal’ lagi.

Apakah kalian, temen2 FB, mau dan rela jika ada saudara kita, temwn kita, sahabat kita, karib kita yang menjadi LGBT?????

Wiwit dan Rikin


Kisah-kisah yang menginspirasi saya


Di kampung saya dulu ada dua orang ‘kurang waras’ yang biasa keliling-keliling kampung. Yang satu namanya Wiwit, laki-laki, umurnya kira-kira 15 tahun di atas saya. Badannya kurung kering, jalannya cepat penuh semangat, selalu tertawa dan ngoceh ke mana-mana. Dia sering digodain oleh anak-anak di kampung saya. Macam-macamlah cara ngodainnya. Sampai kasihan saya.
Wiwit hampir setiap hari datang ke rumah. Kadang-kadang pagi, kadang-kadang siang. Masuk ke rumah lalu duduk dan ngoceh apa saja. Kadang-kadang dikerjain sama saya dan pembantu-pembantu di rumah saya. Dia mah ketawa-ketawa saja.
“Arep ngombe opo kowe, Wit?” tanya Mak saya.
Lalu Mak saya menyiapkan segelas teh manis hangat untuk Wiwit. Kalau makan siang sudah siap:
“Arep mangan sisa ora? Ki aku lagi masak jangan gori karo tempe bacem.”
Wiwit makan dengan lahap. Setelah itu dia pergi lagi, jalan-jalan keliling kampung.
Wiwit biasa memanggil ibu saya dengan panggilan “Makke” (Ibuk) dan bapaknya saya dengan “Pakke”. Kalau lagi pingin minta makan dia masuk rumah dan langsung teriak:
“Pakke, aku luwe ki lho, pingin mangan!”
Bapak saya menyuruh salah seorang ‘rewang’ di rumah saya mengambilkan makan untuk Wiwit.
Ini hampir setiap hari. Subhanallah.
Satu lagi namanya Rikin. Rikit sudah agak tua, badannya tegap, tubuhnya kuat, matanya bulat dan sepertinya banyak putihnya. Anak-anak kampung jarang ngodain Rikin, suka ngamuk soalnya. Kalau ada yang ngodain pasti dikejar dan ditabok. Nggak ada yang berani sama dia. Saya tidak tahu di mana rumah Rikin ini. Kadang-kadang saja dia mampir ke kampung saya.
Sama seperti Wiwit, Rikin juga sering masuk ke rumah. Duduk di bangku kayu panjang yang ada di depan rumah. Rikin ngomongnya juga ngalor-ngidul nggak jelas. Bapak saya sering menyuruhnya mengerjakan sesuatu, bersih-bersih kadang atau kebun.
Pernah suatu hari dia datang ke rumah. Waktu itu belakang rumah masih kebun kosong dan banyak pohon pisangnya. Rumputnya sudah tinggi-tinggi. Bapak saya meminta Rikin untuk membersihkan kebun.
“Kebonan omah kae reged, sukette duwur-duwur. Diresiki kono. Ki gamanne.”,
(Kebon belang rumah sudah kotor. Rumputnya tinggi-tinggi. Dibersihkan ya. Ini sabitnya)
“Yoh….Pakke. Diresikki kabeh, tho?”
“Nganti resik tenah lho, ojo disisakke.”
“Yoh….pak”.
Rikin mengambil sabit itu dan segera ke belang rumah untuk membersihkan kebun. Dia memang rajin sekali dan didukung oleh badannya yang kuat.
Beberapa waktu kemudian, menjelang siang dia selesai mengerjakan tugasnya. Dia kembali ke depan menemui Bapak saya.
“Wis rampung, Pak. Wis tak resikki kabeh.”
“Tenan.”
“Tenah, Pakke. Ora percoyo. Lha mbok ditilikki dewe kae nang mburi.”
Bapak saya menuju ke kebun belakang rumah. Betapa terkejutnya Bapak ketika melihat kebunnya.
Allahuakbar….!!!!
Kebunnya bersih banget, rumputnya dibabat habis oleh Rikin. Termasuk pohon-pohon pisangnya semua. Bersih…sih…. tidak ada yang tersisa.
Bapak pingin marah, tapi juga geli. Bapak ngombel-ngomel ke Rikin. Rikinnya malah nyengar-nyengir saja.
“Mau ngongonnge kon ngersiki kabeh. Yo tak resiki kabah tho……”
“Maksude sukette thok……. ora sak wit-wit gedannge mok enthekke kabeh……..!!!!!”
Tapi Bapak tidak terus-terusan marah. Rikin tetap dikasih makang siang dan sedikit uang. Rikin masih sering datang ke rumah dan Bapak juga ngasih dia kerjaan apa saja.
******
Isroi
Bogor, 07-07-2017

Penjual Ayam Goreng dan Gelandangan


Kisah-kisah yang menginspirasi saya


Ketika kuliah di jogja dulu saya kost di jalan Magelang. Saya biasa beli makan di warung-warung tenda yang ada di sepanjang jalan itu. Salah satunya di ayam goreng yang mangkal di depan ruko-ruko di daerah Kutu Asem. Malam hari selepas isya’ saya beli makan di warung tenda itu. Ketika sedang menunggu giliran dimasakkan, tiba-tiba ada gelandangan kumuh, pakainnya compang-camping, rambutnya gimbal, di tangannya membawa bungkusan tas kresek hitam dan badanya bau. Dia berdiri tepat di belakang saya. Dia hanya berdiri mematung, tidak berkata apa-apa. Matanya tertuju pada ayam-ayam goreng yang memang mengundang selera itu. Dari pandangannya saya bisa merasakan kalau ‘mungkin’ dia lapar dan ingin makan ayam goreng itu.

“Tambah satu lagi, Pak. Ayam gorengnya. Dibungkus, ya. Untuk orang ini. Saya yang bayarin”, kata saya, pakai bahasa jawa, pada penjual ayam goreng itu sambil menunjuk ke orang yang di belakang saya.

“Kangge tiyang niku?” tanya penjualnya.

“Inggih,” kata saya menegaskan.

“Mboten usah, mas. Tiyang niku pancen saben dinten teko mriki. Sampun biasa. Mpun mboten usah dibayari,” Katanya lagi.

Ternyata geladangan yang kurang waras itu memang setiap hari datang meminta jatah makan ke warung ayam goreng ini. Setiap hari penjualnya memberinya sebungkus ayam goreng menu lengkap, seperti yang biasa disajikan untuk pelanggan-pelangannya. Ayamnya yang gede dan enak, bukan ayam sisa atau yang basi-basi saja.

“Untuk sedekah saya, Mas. Satu bungkus tiap hari tidak akan membuat bangkrut warung ini. Malahah tambah laris.” katanya setelah menyerahkan satu bungkus ayam goreng ke gelandangan itu.

Sungguh, saya tidak bisa berkata apa-apa mendengar kata Bapak ini. Tiba-tiba saya merasa mengecil sekecil-kecilnya.

Subanallah. Semoga Allah menerima semua sedeqah Bapak penjual ayam goreng ini. Dan menggantinya dengan ganti yang lebih baik di dunia dan di akhirat.

Kisah Se-kandi Salak

Ini kisah jaman saya masih kuliah dulu, antara tahun 94-95, ketika harga bensin masin Rp.700 perak per liter. Di Fatimah hanya saya yang bawa motor. Motornya RX King. Jaman dulu motor ini keren banget. Larinya kenceng dan paling disukai oleh para preman, copet, jambret dan bandit. Karena itu RX King punya julukan motor jambret.

Ceritanya waktu itu akhir bulan. Biasa, kalau akhir bulan persediaan uang sudah menipis dan saatnya pulang kampung untuk minta uang ‘sangu’ ke Bapak. Uangku tinggal Rp. 2000an. Hanya cukup untuk beli bensin 3 literan. Padahal untuk sampai di rumah, Magelang, butuh bensin 4 liter. Nggak cukup.

“Kamu mau pulang ya, Is?” tanya temenmu Agung Sundowo. Sama-sama penghuni Fatimah. Namanya Sundowo, karena Agung adalah anak blasteran Sunda dan Jawa. Mestinya namanya SUNDAWA, kenapa jadi SUNDOWO? Mungkin karena pengaruh logat jawa. Huruf A dibaca O. 

“Iya nih, Gung. Uangku sudah habis.” jawabku penuh kejujuran.

“Aku boleh ikut tidak? Aku pingin main ke rumahmu di Magelang.”

“Boleh. Ayo main ke rumah. Kalau mau besok siang kita berangkat.” ajakku.

“Lewat Banjarnegara tidak? Aku pingin nengok adikku di sana.”

“Boleh saja. Besok kita lewat Bajar.”

“Tapi ngomong2 kamu punya uang tidak, Gung?”

“Kenapa?”

“Uangku tinggal dua ribu. Nggak cukup buat beli bensin.”

“Ada sih, tapi nggak banyak juga.”

“Oke deh kalau begitu. Besok kita berangkat.”

Esok hari kita sudah siap2 berangkat. Setelah pamitan dengan para sesepuh kami di Fatimah; Mas Imung, Mas Ikhsan, Mas Yono dan teman-teman yang lain, kami berangkat.

“Bismillah”

Agung membonceng di belakangku dengan tenang. Di jalan saya mampir ke pom bensin dulu. Seluruh uang di sakuku saya belikan bensin semua. Dompet yang sudah langsing jadi semakin kempes. Harapanku hanya tinggal sisa uang sakunya Agung.

Darah muda. Aku mengendari motor dengan kencang. Aku bisa tarik gas penuh. Jalan antara Prembun sampai Bajar lurus banget. Gass pooollll. Jalanan masih sepi. Aku lihat speedometer jarum sampai menunjuk angka 125-135. Aku merasa jadi Michael Doohan. Goncangannya sangat keras. Kaca helmku sampai bergetar. RK King memang raja jalanan.

Agung mendekapku kencang. Mungkin dia ketakutan sambil nahan napas dan berdoa.

Sampai di Bajarnegara kami berhenti di masjid agung yang ada di depan alun-alun untuk sholat dhuhur. Selesai sholat kami siap-siap melanjutkan perjalanan lagi. Ketika mau berangkat, Agung seperti kebingungan. Dia raba-raba seluruh sakunya.

“Ada apa, Gung?” tanyaku penasaran.

“Dompetku tidak ada, Is.”

“Jatuh kali waktu wudhu tadi.”

“Nggak ada, sudah aku cari2.”

“Coba cari sekali lagi. Aku bantuin nyari.”

Kami mencari dompet itu ke sana ke mari. Hasilnya nihil.

Hanya uang di dompet itu yang menjadi harapanku untuk bisa sampai rumah.

“Bagaimana nih, Is?”

Nasip….. nasip…. jengkel bercampur marah. Rasanya pingin aku pukuli maling dompet itu. Tega-teganya nyuri dompet mahasiswa miskin seperti kami.

“Kita coba pinjam ke adikku saja, Is. Mungmin dia punya uang.” Agung menawarkan ide.

Singkat cerita, kami mampir di rumah bibinya Agung. Adiknya tinggal di sini. Kami disambut dan dijamu di rumah bibinya Agung.

“Dik, kamu punya uang tidak? Aa pinjam dulu. Dompet aa hilang tadi di masjid.”

“Aku nggak punya uang, A!”

Agung pingin pinjam ke bibinya, tapi tidak berani bilang.

Kalau tidak beli bensin lagi, kami tidak akan bisa sampai Magelang. Baru setengah perjalanan. Mau balik ke Purwokerto bensinya juga tidak cukup. Kami berunding cukup lama untuk mencari jalan keluar. Hasilnya nihil.

Akhirnya kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Meskipun kami tidak yakin dan belum tahu bagaimana caranya agar bisa sampai ke Magelang.

Rupanya bibinya Agung sudah menyiapkan oleh-oleh. Banjarnegara adalah kota salak. Bibinya Agung punya kebun salak. Kami diberi oleh-oleh buah salak sekantong penuh. Kantong bekas beras. Kami menyebutnya kandi. Alhamdulillah.

Kami meneruskan perjalanan menuju Wonosobo. Jarum bensin sudah hampir mepet ke bawah. Habis. Kami tidak bawa uang. ‘Harta’ yang kami punya hanya buah salak itu. Tapi buah salak di kota ini harganya murah banget.

“Bagaimana nih, Gung, Bensin habis.”

“Kita jual saja salak ini. Uangnya bisa buat beli bensin.”

” Tapi di sini salak murah. Uangnya nggk cukup.”

“Atau kita tukerin aja salak ini dengan bensin. Mungkin ada yang mau.”

“Kita coba saja.”

Sambil jalan pelan-pelan kami mencari penjual bensin eceran. Kami ketemu penjual bensin. Dengan malu-malu kita mau menukarkan salak dengan bensin. Penjualnya tidak mau.

Kecewa dan sedih bercampur jadi satu. Kami terus berjalan. Setelah melewati jembatan yang berkelok, ada penjual bensin lagi. Penjualnya ibu-ibu. Kami memberanikan diri untuk menukarkan buah salak dengan bensin.

“Nyuwun sewu, Bu. Bensinne kulo telas.”
“Pinten liter nak?”
“Anu Bu. Nyuwun sewu, nangging kulo mboten gadah yotro.”
“Lho njur pripun mbayare?”
“Anu Bu. Dompette kulo kecopetan wonten Banjar wau. Pas sholat wonten engkan mendet dompette kulo.”
“Pripun nggih..??”
“Anu, Bu. Menawi angsal, bensine kulo kintun kaliyan salak. Wonten sekandi niki.”
“Lha arep milih ngendi sampeyan niki?”
“Megelang, Bu.”
“Tasih tebih ngoten?”
“Lah nggih, Bu. Bensine kulo telas.”
“Perlune pirang liter?”
“Kalih liter, Bu”
“Yo wis kene tak isine.”
“Matur sembah nuwun sanget, Bu.”

Mungkin karena kasihan, ibu penjual bensin itu memberi kami bensin dua liter yang dibayar dengan buah salak satu kandi.

Setelah mengucapakan terima kasih berkali-kali kepada ‘malaikat penolong” kami, kami melanjutkan perjalanan ke Magelang. Jaraknya masih 80 km lagi. Lewat Temanggung, Secang baru sampai Magelang.

Alhamdulillah. Kami selamat sampai rumah. Kami tidak akan pernah lupa pengalaman ini. Semoga Allah membalas kebaikan ibu penjual bensin eceran itu.

******
Ternyata dompet Agung tidak dicuri orang. Tapi jatuh di daerah Purbalingga. Ada orang yang menemukan dan mengirimkan balik ke Agung dengan utuh. Alhamdulillah.

Gang Jambon Gesikan Magelang yang Cantik

Jambon Gesikan Magelang - 1

Gang di Jambon Gesikan Magelang yang asri dan cantik. Banyak bunga-bunga di sisi jalan.

Jambon Gesikan Magelang - 1

Gang di Jambon Gesikan Magelang yang asri dan cantik. Banyak bunga-bunga di sisi jalan.

Jambon Gesikan Magelang - 1

papan peringatan

Jambon Gesikan Magelang - 1

Gang di Jambon Gesikan Magelang yang asri dan cantik. Banyak bunga-bunga di sisi jalan.

Jambon Gesikan Magelang - 1

Anggrek di tempel di dinding-dinding jalan. Jambon Gesikan Magelang .


Continue reading

Bus Damri Bandara Adi Sucipto Yogyakarta

Bis Damri Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Bis Damri Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Pesawat terbang adalah salah satu sarana transportasi yang paling banyak dipakai untuk pergi dari satu kota ke kota lain secara cepat. Tarifnya pun semakin lama semakin murah dan terjangkau. Pesawat hanya mengantarkan penumpang dari satu bandara ke bandara lain. Masalahnya bagi penumpang adalah transportasi dari dan ke rumah – bandara. Untungnya saat ini ada Bis Damri khusus angkutan bandara. Salah satunya yang ada di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Kalau Anda datang ke Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dan akan melanjutkan perjalanan ke kota lain di sekitar Yogyakarta; Magelang, Secang, Temanggung, Purworejo, Kebumen, Wonosari, yang paling murah dan cepat adalah naik Bis Damri Angkutan Khusus Bandara. Jadwal Bis Damri adalah setiap jam, mulai pukul 4 pagi sampai pukul 8 malam dari Yogyakarta. Tarifnya pun cukup murah, berkisar dari Rp. 50rb – Rp. 75rb. Lihat foto tarif di foto berikut ini.

Bis Damri Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Tarif Bis Damri Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Tempat parkir Bis Damri agak sedikit jauh dari Bandara. Kalau keluar dari Bandara, ikuti saja ke arah KELUAR atau PARKIR Mobil. Melewati jalan lorong bawah tanah menuju ke tempat parkir mobil bandara. Keluar dari pintu ke tempat parkir itu adalah tempat poolnya Bis Damri.

Jurusan Bis Damri Angkutan Khusus Bandara Adi Sucipto adalah:
– Magelang
– Secang
– Temanggung
– Purworejo
– Kebumen
– Wonosari
– Borobudur

Kalau di Magelang, pool bis Damri Angkutan khusus bandara ada di Hotel Wisata yang di dekat Jalan Ikhlas atau terminal lama Tidar. Jam 4 pagi sudah ada bis yang berangkat menuju ke bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Keberadaan bis ini sangat membantu penumpang. Tarifnya jauh lebih murah daripada naik taksi atau sewa mobil. Posisinya yang agak jauh juga agar tidak konflik dengan taksi dan mobil omprengan.

Sugeng Tindak Simbah Kakung

Simbah Amad Dakwan semasa hidup.

Simbah Amad Dakwan semasa hidup.


Simbah, begitu biasanya kami memanggilnya. Nama lengkapnya Simbah Amat Dakwan. Simbah lupa tanggal dan tahun lahirnya. Yang beliau masih ingat adalah ketika sekolah SR (Sekolah Rakyat) pada tahun 1908. Mungkin usianya ketika itu sudah 8-9 tahunan. Simbah hanya lulus SR saja tidak melanjutkan sekolah lagi. Simbah kemudian nyantri di pesantren di ‘kulon progo’ (desa di seberang barat kali progo yang ada di desa Kedungingas).

Simbah tinggal di desa Kedungingas. Pekerjaannya adalah tukang kayu dan bertani. Beliau pernah kerja jadi tukang kayu di beberapa kota di Jawa, bahkan katanya pernah sampai ke Jakarta. Kalau musim tanam, biasanya awal musim penghujan, simbah kerja menggarap sawahnya. Mengolah tanah dan menanam padi. Selesai tanam simbah kembali jadi tukang kayu, yang mengurus sawahnya adalah simbah wedok.

Aku lahir di rumah Simbah. Konon katanya Simbah juga yang memberiku nama ISROI. Waktu kecil aku sering pergi ke rumah Simbah. Jaraknya dari rumahku cuma sekitar 2 km. Biasanya aku pergi dengan temen-temen naik sepeda BMX. Menyusuri kali Bening sampai ke desa Nepak. Dari Nepak turun ke Kedungingas. Di rumah Simbah ada pohon rambutan, duku dan mundung. Dulu di sawah juga ada pohon mangga. Kami paling senang ke main ke rumah Simbah apalagi kalau lagi musim buah.

Ketika SD dulu aku juga diajari simbah pencak silat. Kalau malam minggu aku nginep di rumah Simbah. Aku, Bambang dan Joko yang biasaya ke desa. Kami bertiga diajari pencak oleh Simbah. Tapi, karena Simbah sudah sepuh, keseimbanganya kurang, beliau juga sering kelihatan capek. Mungkin karena siangnya kerja di sawah. Lama-lama aku kasihan sama Simbah. Ketika lulus SD, aku masuk ke perguruan silat Kembang Setaman, anak perguruan SH. Latihannya di Stadion Abu Bakrin setiap minggu pagi.

Simbah hidup sangat sederhana. Rumahnya dari kayu dan bambu. Di depannya ada dipan bambu yang dibuatnya sendiri. Simbah cerita, kalau dulu punya anjing. Simbah tidak sengaja memeliharanya. Ceritanya, simbah malam-malam pulang dari kota Magelang. Pulangnya jalan kaki lewat pekuburan Giridarmoloyo (kami biasanya menyingkatnya menjadi Goriloyo). Ketika di tengah kuburan itu ada anjing yang mengikuti Simbah. Simbah menghalau anjing itu agar pergi. Tapi anjing itu tetap saja mengikuti Simbah sampai rumah. Akhirnya, karena tidak mau pergi Simbah bilang sama anjing itu:
“Nek kowe pingin melu aku, kudu nurut aku.”
“Kowe turu wae nang kene.” Sambil menunjuk ke dipan bambu itu.
“Ora oleh mblebu oman.”
Simbah adalah muslim yang taat. Tidak suka memelihara anjing. Meski tidak suka anjing, simbah tetap memelihara anjing itu. Tiap hari selalu diberi makan oleh Simbah lanang atau simbah wedok. Anjing itu jadi penjaga rumah. Kalau siang pergi dan kalau malam pulang ke rumah. Sampai suatu ketika anjing itu pergi dan tidak pernah kembali lagi.

Simbah juga pernah punya burung perkutut. Burungnya bagus dan ‘manggungnya’ bagus. Kalau ada orang pasti ‘manggung’. Kalau didekati ‘manggung’ juga. Simbah sangat menyayangi burungnya itu. Karena bagus, burung itu disukai orang dan ingin dibelinya. Simbah berat hati menjualnya, tapi karena sedang butuh uang. Burung perkutut itu akhirnya dijual juga.

Keahlian simbah sebagai tukang kayu banyak membantu bapak. Semua kusen dan kayu-kayu ketika membantun rumah yang mengerjakan Simbah dan Lik Pangat. Meja-meja warung Bapak yang membuat juga Simbah. Sampai sekarang masih bagus dan kuat.

Simbah orangnya suka bercanda. Kalau ditanya umurnya, simbah bilang:
“Umurku songolas tahun,” sambil ketawa-tawa.
Kami menyahutnya, “Ning ongkone di walik tho, Mbah?”
Kami pun ketawa bersama-sama.

Simbah sangat rajin beribadan, mengaji dan sholat. Setiap waktu sholat hampir selalu di masjid. Meskipun simbah sudah sangat sepuh sekali. Simbah masih rajin mengaji dan membaca Al Qur’an. Ketika pandangannya sudah mulai rabun dan pendengarannya berkurang, simbah mulai jarang membuka Al Qur’an. Kami belikan Al Qur’an yang ukurannya besar, biar mudah dibaca oleh Simbah.

Masih segar dalam ingatanku, simbah selalu menasehati aku dengan nasehat yang selalu diulang-ulang.
“Kowe ojo lali sholatte lan ngaji moco Quran.”
“Arepo kowe tekan ngendi-ngendi wae ojo lali sholat yo!”
“Tak dongakke kowe lan keluargamu sok ben iso munggah kaji nang mekah kono.”
“Amin…ngih, Mbah….”

“Aku wis ora pingin opo-opo. Aku wis tuwo. Mung kepingin ‘khusnul khotimah’ wae.”
“Aku ora pingin duwit opo sandang pangan sing enak. Ora.”

Meski sudah sepuh, simbah sangat sehat dan tidak pikun. Makannya banyak, apalagi kalau pakai sambel dan ikan. Meski giginya sudah banyak yang ompong, simbah tetap lahap makannya.

Simbah juga jarang sakit. Paling sakit masuk angin saja. Pernah beliau sakit parah beberapa tahun yang lalu. Di bawa ke rumah Jambon dan tidur di kamarku. Kami menyangka ini ‘sudah waktunya’ simbah. Alhamdulillah Simbah sehat lagi dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Setahun yang lalu simbah juga sakit parah. Sudah lupa semuanya dan sudah tidak bisa apa-apa. Kami sudah pasrah, kalau Simbah mau ‘dipundut Sing Kuoso’. Alhamdulillah simbah kembali sehat. Waktu saya telepon ke adik saya,
“Piye kabar Simbah”,
“Alhamdulillah sehat wae, malah wingi bar seko Jambon.”

Minggu yang lalu, hari kamis malam, sepulang kerja. Seperti biasa kami sholat magrib di masjid dan pulang ke rumah sambil menghafal Al Qur’an. Saya buka laptop saya. Tiba-tiba ada ‘notification’ dari Facebook kalau adik saya men-tag sebuah foto. Sangat jarang adik saya men-tag foto, karena itu saya buka linknya.
Adik saya memposting foto lama simbah dan ada tulisannya; Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Seperti disambar geledek. Langsung saya telepon ke adik.
“Ono opo, Ngek?”
“Simbah sedo” jawabnya singkat.
Innalillahi wa innailaihi rojiun, ucap saya lirih.

“Mau awan jam siji.”
“Lha saiki piye, wis disarekke durung?”
“Wis, iki bar rampung wae, mau jam limo sore.”
“Aku mau telpon kowe ora iso-iso.”

Saya sangat dekat dengan Simbah. Setelah Bapak ’tilar’, Simbah lah yang saya anggap sebagai orang tua penganti Bapak. Sangat sulit saya menceritakan bagaimana perasaanku waktu mendengar kabar ini. Dulu ketika Bapak ’tilar’, saya tidak sempat menunggui dan pulang. Kini, ketika simbah ’tilar’ saya juga tidak bisa menunggui dan pulang.

Tapi saya bangga dengan Simbah. Beliau ‘sedo’ dengan kondisi baik. Hanya sakit biasa dua hari saja. Insha Allah, khusnul khotimah seperti yang selalu beliau inginkan.

Nasehat Simbah selalu tergiang di telinga saya. Karena nasehat itu selalu diucapkan beliau sejak aku masih SMA dulu sampai sekarang. Nasehatnya sama terus dan diulang-ulang.
Simbah menjadi suritauladan saya; kesederhanaan Simbah, keistiqomahan Simbah, kepasrahan Simbah, ke-itmi’nan beliau, ke-qona’ahan Simbah.

Sugeng Tindak Simbah.

simbah kakung

Foto kenangan terakhir bersama Simbah Kakung ketika lebaran 1436H/2015. Simbah masih sehat wal afiat.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang - 1 (1)

Simbah Kakung Magelang - 1 (2)

Simbah Kakung Magelang - 1 (3)

Simbah Kakung Magelang - 1 (4)

Simbah Kakung Magelang - 1 (5)

Simbah Kakung Magelang - 1 (8)

Simbah Kakung Magelang - 1 (9)

Simbah Kakung Magelang - 1 (10)

Membalik Energi Negatif Menjadi Energi Positif

Ini cerita jaman dulu waktu aku masih SMP. Perasaan marah, dendam, jengkel, mangkel yang membuatku dapat NEM terbaik di sekolahku.

Aku sekolah di sekolah ‘pinggiran’. Ketika SD aku sekolah di SD Inpres Cacaban 2 di kaki gunung sukorini. SD Inpres adalah konotasi untuk SD pinggiran. SDku sekarang sudah “almarhum”. Nilai sekolahku biasa2 saja, tidak cukup untuk masuk sekolah negeri. Akhirnya aku terdampar di sekolah SMP “luar negeri” alias SMP swasta; SMP Purnama Magelang. Sekolahnya “ndompleng” di SMP N 5. Masuknya siang, ketika anak2 SMP Negeri sudah pulang. Jaraknya dari rumahku 3-4 km. Aku ke sekolah naik sepeda.

Continue reading

Tips Membeli Oleh2 Getuk Magelang

image

Getuk Magelang warisan Mbah Ali Gondok

Entah sejak kapan kota Magelang terkenal sebagai kota Getuk. Padahal toko penjual getuk di Magelang tidak sebanyak penjual getuk goreng di Sokaraja. Ada banyak pilihan getuk Magelang. Anda bisa pilih yang tradisional atau yang sudah dikemas modern.

Getuk Magelang punya ciri khas yang beda dengan getuk dari tempat lain. Pertama, getuk Magelang digiling halus dan pulen. Katanya ketela untuk bahan getuk dipesan khusus untuk gethuk. Tidak bisa ketela sembarangan. Ketelanya dipilih yang pulen dan muda. Kedua, getuk Magelang punya tiga warna, yaitu: putih, coklat, dan pink. Ada beberapa variasi, tapi getuk tiga warna ini yang terkenal.

Continue reading