Ini cerita jaman dulu waktu aku masih SMP. Perasaan marah, dendam, jengkel, mangkel yang membuatku dapat NEM terbaik di sekolahku.
Aku sekolah di sekolah ‘pinggiran’. Ketika SD aku sekolah di SD Inpres Cacaban 2 di kaki gunung sukorini. SD Inpres adalah konotasi untuk SD pinggiran. SDku sekarang sudah “almarhum”. Nilai sekolahku biasa2 saja, tidak cukup untuk masuk sekolah negeri. Akhirnya aku terdampar di sekolah SMP “luar negeri” alias SMP swasta; SMP Purnama Magelang. Sekolahnya “ndompleng” di SMP N 5. Masuknya siang, ketika anak2 SMP Negeri sudah pulang. Jaraknya dari rumahku 3-4 km. Aku ke sekolah naik sepeda.
Tahu sendirilah anak2 SMP swasta rendahan. Kualitasnya juga biasa2 saja, malah cenderung bandel2. Ketika kelas 1 aku punya geng yang anggotanya beberapa orang. Nama2 anggota gengku yang masih aku ingat: Witono, Agus A, Sugito dan Agus B. Biasalah anak2 jadi biang kerok keributan dan kegaduhan di kelas. Beberapa kali kami di-strap oleh kepala sekolah atau guru kelas.
Pernah suatu hari guru pelajaran tidak ada. Kami hanya disuruh mengerjakan tugas. Jam kosong menjadi kesempatan anak2 ribut di kelas. Pas kebetulan Bapak kepala sekolah sedang keliling. Langsung beliau masuk kelasku. Mukanya merah padam. Matanya melotot. Sampai2 seperti mau keluar bolan matanya. Hidungnya membesar dan keluar asepnya.
Tampa komando anak2 langsung terdiam semua. Pak kelapa sekolah marah dan menanyakan siapa yang ribut tadi. Pertanyaan konyol menurutku, karena hampir semua anak gaduh semua. Pak kepala sekolah mengancam kalau tidak ada yang mengaku, semua anak tidak boleh pulang. Sampai berapa lama tidak ada yang mengaku, semua tertunduk.
Aku tunjuk jari.
“Maju kamu!!” hardiknya.
“Siapa lagi???”
Aku sebutkan nama2 beberapa anak yang paling gaduh di kelas. Ada 4 anak.
Pak kepala sekolah darahnya masih tinggi. Satu persatu kami ditempelengnya.
Mungkin kalau jaman sekarang, tindaka ini melanggar HAM. Dan pak Kepala sekolah bisa dilaporkan ke polisi.
Ketika Pak Kepala sekolah meninggalkan kelas. Aku datangi teman2ku yang ribut tapi tidak mau maju. Gantian aku tempeleng mereka.
Beberapa kali gengku betantem. Biasanya hanya masalah sepele; ejek2kan atau lempar-lemparan kapur dan ballpoint.
Nah, suatu hari gengku dapat tugas bersih2 kelas. Ketika bersih2 ada seorang anak terpandai di kelasku masuk dan menginjak2 kotoran yang sedang kami sapu. Terang saja aku marah. Anak ini sombong banget. Mentang2 dia anak terpandai dan disayang guru. Aku adu mulut dengan dia. Akhirnya aku tantang dia.
“Nanti pulang sekolah kita teruskan di lapangan belakang!” tantangku.
Pulang sekolah sekitar pukul 5.30. Menjelang magrib dan hari mulai agak gelap, aku tunggu dia di pintu belakang sekolah. Dari jauh aku lihat dia menuju ke luar. Rupanya dia menerima tantanganku. Mungkin dia nggak ingin kehilangan muka di depan2 teman2 yang lain, terutama teman2 perempuan yang mengidolaka dia.
Kami hadap2an di lapangan belakang sekolah. Teman yang lain menyoraki kami dari pinggir lapangan. Tidak perlu nunggu komando langsung saya serang dia.
Aku pukul dan aku tendang. Aku ikut pencak silat Kembang Setaman dan SH. Latihan 2-3 kali seminggu. Aku bayangin anak ini seperti kantong pasir yang buat latihan. Bag….big…bug…. pokoknya pukul dan tendang terus. Beberapa kali dia jatuh.
Mungkin ada anak yang lapor ke guru. Kepala sekolah dan beberapa guru melerai kami dan membawa kami ke ruang guru. Sekali lagi saya kena marah guru dan sempat ditempeleng lagi.
Namun, si anak emas ini tidak dimarahi. Di depanku dia dielus2 guru. Wajahnya yang sedikit memar dioles dan dipijit.
Bener… bener tidak adil. Dia diperlakukan beda. Kalau aku ditempeleng, dia dielus2. Hatiku panas banget. Marah… jengkel…. benci…. numpuk jadi satu.
Keesok harinya Bapakku dipanggil ke sekolah. Aku diancam akan dikeluarkan kalau berantem lagi. Bapakku pun sempat menghajarku. Ampun deh..
Perasaan marah, dendam, jengkel, benci seperti meluap2 di dalam dada ini. Ada semacam tekad: aku harus mengalahkannya.
Entah mengapa sejak peristiwa itu aku lebih giat belajar. Perasaan aku jadi lebih cepat mudeng dan cepat menyerap pelajaran di sekolah. Nilaiku semakin baik. Aku masih dengan gengku. Aku masih latihan silat. Beberapa kali aku berantem lagi.
Akhirnya, ketika EBTANAS, aku lulus dengan nilai tertinggi. Bahkan nilaiku tidak kalah dengan anak2 SMP negeri.
Meski awalnya tidak PD, aku mendaftar ke SMA N 1 Magelang. SMA terfavorit waktu itu. Alhamdulillah diterima. Mungkin aku satu2nya anak SMP Purnama yang bisa lolos ke SMANSA Magelang. Karena setelah beberapa tahun kemudian SMP Purnama Magelang akhirnya “almarhum” juga.
*****
Aku mengenang kembali masa2 itu. Aku ingin kembali membalik energi negatif dalam diriku ini menjadi energi pendorong ke arah yang positif. Aku ingin kembali bisa menjadikan energi negatif menjadi bahan bakar untuk melaju lebih cepat lagi. Insha Allah.