Sugeng Tindak Simbah Kakung

Simbah Amad Dakwan semasa hidup.

Simbah Amad Dakwan semasa hidup.


Simbah, begitu biasanya kami memanggilnya. Nama lengkapnya Simbah Amat Dakwan. Simbah lupa tanggal dan tahun lahirnya. Yang beliau masih ingat adalah ketika sekolah SR (Sekolah Rakyat) pada tahun 1908. Mungkin usianya ketika itu sudah 8-9 tahunan. Simbah hanya lulus SR saja tidak melanjutkan sekolah lagi. Simbah kemudian nyantri di pesantren di ‘kulon progo’ (desa di seberang barat kali progo yang ada di desa Kedungingas).

Simbah tinggal di desa Kedungingas. Pekerjaannya adalah tukang kayu dan bertani. Beliau pernah kerja jadi tukang kayu di beberapa kota di Jawa, bahkan katanya pernah sampai ke Jakarta. Kalau musim tanam, biasanya awal musim penghujan, simbah kerja menggarap sawahnya. Mengolah tanah dan menanam padi. Selesai tanam simbah kembali jadi tukang kayu, yang mengurus sawahnya adalah simbah wedok.

Aku lahir di rumah Simbah. Konon katanya Simbah juga yang memberiku nama ISROI. Waktu kecil aku sering pergi ke rumah Simbah. Jaraknya dari rumahku cuma sekitar 2 km. Biasanya aku pergi dengan temen-temen naik sepeda BMX. Menyusuri kali Bening sampai ke desa Nepak. Dari Nepak turun ke Kedungingas. Di rumah Simbah ada pohon rambutan, duku dan mundung. Dulu di sawah juga ada pohon mangga. Kami paling senang ke main ke rumah Simbah apalagi kalau lagi musim buah.

Ketika SD dulu aku juga diajari simbah pencak silat. Kalau malam minggu aku nginep di rumah Simbah. Aku, Bambang dan Joko yang biasaya ke desa. Kami bertiga diajari pencak oleh Simbah. Tapi, karena Simbah sudah sepuh, keseimbanganya kurang, beliau juga sering kelihatan capek. Mungkin karena siangnya kerja di sawah. Lama-lama aku kasihan sama Simbah. Ketika lulus SD, aku masuk ke perguruan silat Kembang Setaman, anak perguruan SH. Latihannya di Stadion Abu Bakrin setiap minggu pagi.

Simbah hidup sangat sederhana. Rumahnya dari kayu dan bambu. Di depannya ada dipan bambu yang dibuatnya sendiri. Simbah cerita, kalau dulu punya anjing. Simbah tidak sengaja memeliharanya. Ceritanya, simbah malam-malam pulang dari kota Magelang. Pulangnya jalan kaki lewat pekuburan Giridarmoloyo (kami biasanya menyingkatnya menjadi Goriloyo). Ketika di tengah kuburan itu ada anjing yang mengikuti Simbah. Simbah menghalau anjing itu agar pergi. Tapi anjing itu tetap saja mengikuti Simbah sampai rumah. Akhirnya, karena tidak mau pergi Simbah bilang sama anjing itu:
“Nek kowe pingin melu aku, kudu nurut aku.”
“Kowe turu wae nang kene.” Sambil menunjuk ke dipan bambu itu.
“Ora oleh mblebu oman.”
Simbah adalah muslim yang taat. Tidak suka memelihara anjing. Meski tidak suka anjing, simbah tetap memelihara anjing itu. Tiap hari selalu diberi makan oleh Simbah lanang atau simbah wedok. Anjing itu jadi penjaga rumah. Kalau siang pergi dan kalau malam pulang ke rumah. Sampai suatu ketika anjing itu pergi dan tidak pernah kembali lagi.

Simbah juga pernah punya burung perkutut. Burungnya bagus dan ‘manggungnya’ bagus. Kalau ada orang pasti ‘manggung’. Kalau didekati ‘manggung’ juga. Simbah sangat menyayangi burungnya itu. Karena bagus, burung itu disukai orang dan ingin dibelinya. Simbah berat hati menjualnya, tapi karena sedang butuh uang. Burung perkutut itu akhirnya dijual juga.

Keahlian simbah sebagai tukang kayu banyak membantu bapak. Semua kusen dan kayu-kayu ketika membantun rumah yang mengerjakan Simbah dan Lik Pangat. Meja-meja warung Bapak yang membuat juga Simbah. Sampai sekarang masih bagus dan kuat.

Simbah orangnya suka bercanda. Kalau ditanya umurnya, simbah bilang:
“Umurku songolas tahun,” sambil ketawa-tawa.
Kami menyahutnya, “Ning ongkone di walik tho, Mbah?”
Kami pun ketawa bersama-sama.

Simbah sangat rajin beribadan, mengaji dan sholat. Setiap waktu sholat hampir selalu di masjid. Meskipun simbah sudah sangat sepuh sekali. Simbah masih rajin mengaji dan membaca Al Qur’an. Ketika pandangannya sudah mulai rabun dan pendengarannya berkurang, simbah mulai jarang membuka Al Qur’an. Kami belikan Al Qur’an yang ukurannya besar, biar mudah dibaca oleh Simbah.

Masih segar dalam ingatanku, simbah selalu menasehati aku dengan nasehat yang selalu diulang-ulang.
“Kowe ojo lali sholatte lan ngaji moco Quran.”
“Arepo kowe tekan ngendi-ngendi wae ojo lali sholat yo!”
“Tak dongakke kowe lan keluargamu sok ben iso munggah kaji nang mekah kono.”
“Amin…ngih, Mbah….”

“Aku wis ora pingin opo-opo. Aku wis tuwo. Mung kepingin ‘khusnul khotimah’ wae.”
“Aku ora pingin duwit opo sandang pangan sing enak. Ora.”

Meski sudah sepuh, simbah sangat sehat dan tidak pikun. Makannya banyak, apalagi kalau pakai sambel dan ikan. Meski giginya sudah banyak yang ompong, simbah tetap lahap makannya.

Simbah juga jarang sakit. Paling sakit masuk angin saja. Pernah beliau sakit parah beberapa tahun yang lalu. Di bawa ke rumah Jambon dan tidur di kamarku. Kami menyangka ini ‘sudah waktunya’ simbah. Alhamdulillah Simbah sehat lagi dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Setahun yang lalu simbah juga sakit parah. Sudah lupa semuanya dan sudah tidak bisa apa-apa. Kami sudah pasrah, kalau Simbah mau ‘dipundut Sing Kuoso’. Alhamdulillah simbah kembali sehat. Waktu saya telepon ke adik saya,
“Piye kabar Simbah”,
“Alhamdulillah sehat wae, malah wingi bar seko Jambon.”

Minggu yang lalu, hari kamis malam, sepulang kerja. Seperti biasa kami sholat magrib di masjid dan pulang ke rumah sambil menghafal Al Qur’an. Saya buka laptop saya. Tiba-tiba ada ‘notification’ dari Facebook kalau adik saya men-tag sebuah foto. Sangat jarang adik saya men-tag foto, karena itu saya buka linknya.
Adik saya memposting foto lama simbah dan ada tulisannya; Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Seperti disambar geledek. Langsung saya telepon ke adik.
“Ono opo, Ngek?”
“Simbah sedo” jawabnya singkat.
Innalillahi wa innailaihi rojiun, ucap saya lirih.

“Mau awan jam siji.”
“Lha saiki piye, wis disarekke durung?”
“Wis, iki bar rampung wae, mau jam limo sore.”
“Aku mau telpon kowe ora iso-iso.”

Saya sangat dekat dengan Simbah. Setelah Bapak ’tilar’, Simbah lah yang saya anggap sebagai orang tua penganti Bapak. Sangat sulit saya menceritakan bagaimana perasaanku waktu mendengar kabar ini. Dulu ketika Bapak ’tilar’, saya tidak sempat menunggui dan pulang. Kini, ketika simbah ’tilar’ saya juga tidak bisa menunggui dan pulang.

Tapi saya bangga dengan Simbah. Beliau ‘sedo’ dengan kondisi baik. Hanya sakit biasa dua hari saja. Insha Allah, khusnul khotimah seperti yang selalu beliau inginkan.

Nasehat Simbah selalu tergiang di telinga saya. Karena nasehat itu selalu diucapkan beliau sejak aku masih SMA dulu sampai sekarang. Nasehatnya sama terus dan diulang-ulang.
Simbah menjadi suritauladan saya; kesederhanaan Simbah, keistiqomahan Simbah, kepasrahan Simbah, ke-itmi’nan beliau, ke-qona’ahan Simbah.

Sugeng Tindak Simbah.

simbah kakung

Foto kenangan terakhir bersama Simbah Kakung ketika lebaran 1436H/2015. Simbah masih sehat wal afiat.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang semasa hidup.

Simbah Kakung Magelang - 1 (1)

Simbah Kakung Magelang - 1 (2)

Simbah Kakung Magelang - 1 (3)

Simbah Kakung Magelang - 1 (4)

Simbah Kakung Magelang - 1 (5)

Simbah Kakung Magelang - 1 (8)

Simbah Kakung Magelang - 1 (9)

Simbah Kakung Magelang - 1 (10)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s