Sekolah di SD Inpres

isroiWaktu SD aku sekolah di sebuah SD inpres, SD Cacaban 2 namanya. Letaknya di balik gunung sukorini dan jauhnya kurang lebih satu sampai satu setengah kilometer dari rumahku. SD Inpres maksudnya adalah SD yang dibangun atas Instruksi Presiden dan punya konotasi jelek. SD Inpres adalah SD untuk orang-orang tidak punya dan fasilitasnya pun sangat terbatas. Banyak teman-temanku waktu itu yang bersekolah tanpa memakai sepatu alias ‘nyeker’. Soalnya kalau pergi ke sekolah tidak boleh memakai sandal, tetapi anehnya kalau tanpa sepatu justru diperbolehkan.

Aku pergi ke sokolah dengan berjalan kaki menyusuri ‘kali bening’ yang mengalir di belakang rumah. Kalau sudah sampai di Jambot Wot aku belok ke arah gunung sukorini. Gunung sukorini sebenarnya bukan gunung, tetapi bukit kecil yang digunakan untuk pemakaman. Aku masih kecil dan sebenarnya takut juga kalau sendirian melewati kuburan-kuburan di gunung sukorini. Ada beberapa temanku yang tinggal di sekitar gunung sekorini. Biasanya aku mengambil jalan memutar dan menjemput tamanku, ada Gunawan atau Kusarmanto. Aku paling sering mampir ke rumahnya Gunawan. Kebetulan nenek Gunawan berjualan bubur setiap pagi. Nenek sering memberiku semangkuk ‘bubur ketan kinco’ padaku. Aku senang sekali, karena makanan itu adalah salah satu makanan favoritku. Kalau pulang biasanya aku rame-rame dengan temanku lewat kuburan sukorini.

Aku ingat waktu awal-awal di kelas satu, ada temanku yang BAB di sekolah. Waktu itu kelas tiba-tiba gaduh karena tercium bau yang tidak sedap. Setelah dicari-cari ternyata ada seorang temanku yang diam saja. Tiba-tiba jatuh gumpalan berwarna coklat dengan mau menyengat. Mungkin karena malu, temanku itu nangis dan lagi pulang ke rumahnya dengan meningalkan ‘telor’nya.

Ada peristiwa yang sulit aku lupakan. Ketika itu di dekat sekolah ada pertunjukan ‘jatilan’, semacam kuda lumping khas kota Magelang. Para pemain jatilan sudah banyak yang ‘ndadi’ (kesurupan). Salah seorang pemain itu ada mengambil anak kecil yang kebetulan cacat kakinya. Usia anak itu kira-kira 8-9 tahun. Mungkin karena sakit folio kaki anak itu sangat kecil dan tidak bisa berjalan. Anak itu digendong dan diajak menari-nari sebentar di tengah lapangan. Kemudian anak itu didudukkan, pemain yang ‘ndadi’ itu minta dicarikan telur ayam kampung. Telur itu lalu diberdirikan, aneh sekali, telur itu bisa berdiri di atas piring. Lalu telur itu dipecah di atas kaki anak kecil itu. Kedua kaki anak itu dilumuri dengan telur ayam kampung. Setelah beberapa saat, anak itu dipegangi tangannya dan diminta berdiri. Sungguh aneh bin ajaib, tiba-tiba anak itu bisa berdiri dan bisa berjalan, walaupun jalannya dengan tertatih-tatih.

Fasilitas SD sangat terbatas. Misalnya saja untuk alat-alat kebersihan, biasanya murid-murid yang membuatnya. Pelajaran prakarya sering diisi dengan kegiatan membuat sapu atau keset dari sabut kelapa. Anak-anak secara berkelompok diminta membuat keset atau sapu. Kadang-kadang juga membuat ‘sulak’ atau kemoceng dari tali plastik rafia. Dulu aku suka membuat keset. Sabut kelapa dipilin menjadi tambang. Kami mengerjakannya rame-rame. Lalu dibuat cetakan dari kayu berbentuk kotak. Di sekeliling kotak itu diberi paku dengan jarak tertentu. Paku-paku ini digunakan untuk menambatkan tambang sabut kelapa. Tambang dianyam dengan cetakan itu hingga membentuk keset. Aku suka berkreasi dengan bembentuk tulisan-tulisan di keset itu.

Perpustakaan sekolah juga sangat minimalis. Tidak ada ruangan khusus untuk perpustakaan. Biasanya jika waktu istirahat tibat, Bu Guru akan meletakkan buku-buku di atas meja di depan ruangan kantor sekolah. Anak-anak berkerumun di sekitar meja mencari-cari buku-buku untuk di baca. Ada majalah favorit anak-anak, namanya majalah Si Kuncung. Ada juga beberapa buku cerita dan buku-buku sastra jaman dulu. Waktu itu aku suka sekali membaca buku Gurindam 12 karya Sultan Haji atau cerita ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wich’ (bener ngak aku menulisaknnya ????) dan ‘Di bawah Naungan Ka’bah’ karya Buya HAMKA. Kadang-kadang aku membaca puisi-puisi pujangga baru atau buku-buku pantun dari melayu. Aku juga suka sekali membaca cerita-cerita pahlawan, seperti cerita tentang Pangeran Diponegoro, Iman Bonjol, Kapten Patimura, Sisinga Mangaraja, Cut Nyak Dien, dan lain-lain.

Karena begitu terkesannya aku dengan cerita dan puisi yang aku baca, aku sering meniru karya-karya mereka. Aku membuat beberapa sajak dengan akhiran a semua berjumlah 12 baris. Kadang-kadang aku menulis pantun-pantun. Aku juga sering mengambar wajah pahlawan-pahlawan itu. Dalam pikiranku mereka adalah orang yang sangat gagah perkasa. Aku sering membayangkan berperang bersama dengan Pangeran Diponegoro menyusuri perbukitan kendeng. Sajak, pantun, dan gambar-gambarku aku tulis di sebuah buku tulis bergaris. Namun, sayangnya buku itu di minta temanku Witono. Aku tidak tahu apakah buku itu masih ada atau sudah hilang.

Pernah suatu ketika kali bening sedang diperbaiki. Lumpur-lumpur di sungai diangkat ke pingir dan menutupi jalan. Waktu pulang aku binggung mau lewat mana. Belum tahu jalan alternatif pulang ke rumah. Akhirnya nekat lewat lumpur-lumpur itu. Sampai di tengah-tengah jalan, kakiku terperosok sulit diangkat. Karena tidak bisa jalan akhirnya aku nanggis. Kuli yang kerja mengali sungai yang menolong mengangkat diriku. Namun naas. Sepatuku tertinggal di lumpur dan tidak bisa diambil lagi. Aku pulang sambil nangis sepanjang jalan. Aku nanggis karena kecewa dan sedih; sepatuku satu-satunya hilang masuk lumpur. Kedua, aku nanggis karena takut dimarahi Bapak. Bapakku galak. Sekolah ‘nyeker’ lagi.

**********
Terakhir aku dengar SD Cacaban 2 sudah ditutup karena kekurangan murid. Murid-murid sekolah SD Cacaban 2 digabung dengan SD Cacaban 3. Sekolah sendiri sudah rusak dan tidak terurus. Meskipun SD Cacaban 2 sudah tidak ada lagi, tetapi kenangan di sekolah itu tetap melekat diingatanku. Aku tidak akan pernah melupakannya.

9 responses to “Sekolah di SD Inpres

  1. Yang bener Tenggelamnya kapal Van der Wijck kang 😀

    saya juga seneng dan bersyukur nih bangsa kita punya sastrawan merangkap ulama sekaliber Buya Hamka 😀

    Wow rupanya penulis buku yah.

    Sukses selalu ya kang

  2. tulisan ini baru saja saya baca subuh tgl 6 agustus 2009. Sampean lulusan tahun berapa mas? Aku lulus seko SD Cacaban 2 jaman nyeker biyen tahun 1979, pas perpanjangan setengah tahun masa studi. Jan ngenes kalau denger SD kita sudah tdk terurus. Memang bener itu kang? Sudah tidak operasional lagi? Padahal ijazahku keliru tgl lahir belum sempat tak benerke.
    Mbok sampean buat milis atau blog atau semacamnya di Face Book atau dimana gitu, tak melu.

    • Selamat datang di blog saya, Pak Bambang. Berarti Pak Bambang ini kakak kelas saya, karena saya baru masuk ke SD tahun 1982. Cukup jauh jaraknya. Sedih sekali rasanya SD kita sudah tidak beroperasi lagi. Teman-teman juga sudah pada bubar tidak tahu pada ke mana. Pingin juga membuat milist/group atau yang lainnya. Saya masih melihat efektivitasnya, karena baru Pak Bambang yang saya tahu. Mungkin suatu saat nanti. Insya Allah.

  3. he he he iya, rambutku sudah ada yang putih, tapi krn late marriage, anakku masih kecil-kecil, paling gede nembe kelas 6.
    Jamanku, waktu pak Topo Kepsek, masih ada bu endang,pak parmo,bu sisil (wong 2 kuwi kawin ketoke), aku kelingan isih bisa mbanggakke terhadap SD lain di seantero Cacaban. Wkt itu inyong makili sekolah lomba tebak tepat karo SD-SD lain, isih bisa nomor 2. SD Cacaban 1, Cacaban 4, Pantekosta bisa dilewati. Trus nang Kodia ya nomer 3 atau 4 aku lali.
    Tentang teman-teman, mbuh kabur kanginan, yang jelas kalau lagi mudik, ketemune sing biyen sak kampung di Jambon Gesikan. Jangankan SD, teman kuliah,SMA, dan SMP pun susah ketemunya. Prasarana internet pancene lumayan membantu. Wis ya, semoga karier ente sukses, aku melu bangga ono adik kelas SMA dan SD yang tak nilai cukup berhasil dunia akhirat, semoga penilaianku ora keliru.

    • Amin. Pak Bambang asline pundhi? Cacaban nopo Jambon. Kulo Jambon Tempel Sari je… Nek Kundhur lebaran mbok mampir nek wonten wedhal. matur nuwun.

  4. Wah, saya dulu juga sekolah di SD Inpress
    Banyak banget kenangannya
    Tapi saya sekolah di Kalimantan

  5. Angelina Anjar

    Mas Isroi, saya Angelina Anjar dari Tempo. Saya tertarik dengan cerita Mas Isroi ini. Kebetulan saya mau menulis artikel tentang SD Inpres. Boleh saya wawancara Mas Isroi? Kalau berkenan mungkin bisa email saya di angelinaanjars@gmail.com. Atau saya boleh minta nomor kontak yg bisa dihubungi?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s