Ada banyak cara mengenang orang yang sudah tiada. Salah satunya dengan mengabadikannya dalam bentuk cerita atau bahkan film documenter. Tetapi ini biasanya dilakukan setelah orang itu bertahu-tahun tiada. Atau setelah jaman berganti dan orang baru sadar akan ‘kepahlawanannya’. Namun ada VCD yang mengisahkan orang yang belum lama tiada, bahkan aku pun sempat melayat waktu beliau wafat, yaitu Ust. Rahmat Abdullah yang dikisahkan dalam film yang berjudul Sang Murabbi.
Sudah lama aku tahu kalau kehidupan Ust. Rahmat akan difilmkan, bahkan trillernya pun sudah aku lihat. Aku membeli VCD ini ketika ada Bazzar dan Pameran Buku di Gedung PPIB, Bogor. Harganya sedang diskon, jadi aku segera membelinya. Sampai di rumah aku segera melihat VCD ini.
VCD ini mengisahkan sebagian kehidupan Ust. Rahmat Abdullah. Mulai sejak muda, awal dakwahnya, tantangan yang dihadapi, hingga membangun Islamic Centre Iqro dan menjadi anggota dewan. Saya tidak beranjak dari tempat duduk sampai film ini selesai. Mungkin filmnya tidak sehebat film-film yang lain atau ceritanya yang tidak seheroik film-film western lainnya. Tapi film ini sungguh menunjukkan akan arti perjuangan dalam dakwah yang sesungguhnya.
Meskipun tidak kenal secara dekat, tetapi aku beberapa kali mengikuti pengajian-pengajian atau taklim yang dilaksanakan secara langsung. Beliau menyampaikan kajian dengan bahasa yang khas, khas Ust. Rahmat Abdullah. Kata-katanya berbunga-bunga dan seperti sebuah sajak atau puisi. Seperti kalau kita membaca tulisan-tulisan beliau di majalah Saksi, Ummi, Tarbawi, atau majalah-majalah lainnya. Gaya tulisannya itu khas dan menyentuh. Apalagi mendengar taushiaynya secara langsung. Sepertinya langsung menyentuh ke hati.
Mungkin karena ada sedikit ikatan emosional, aku melihat film ini dengan emosi juga. Ada perasaan sedih, bangga, terharu, dan kehilangan. Rasanya, kalau tidak malu, air keluar dari mata ini. Saya jadi ingat kira-kira 3 tahun yang lalu. Waktu itu kira-kira selepas isya’ aku mendapatkan sms yang isinya mengabarkan kalau Ust. Rahman sudah berpulang. Innalillahi wa innalilahi rojiun. Rasanya tidak percaya. Karena tidak pernah ada kabar atau cerita kalau Ust. Rahmat sakit.
Kemudian kami saling berkoordinasi untuk melayat ke rumah ust. Rahmat. Setelah sms-smsan dan telpon sana-sini. Akhirnya kami kira-kira berenam meluncur ke Pondok Gede sekitar pukul 9 malam. Sampai di dekat Iqro sudah ramai sekali. Parkiran sudah tampak penuh. Agak lama kami mencari tempat parkir. Dengan berjalan kaki kami menuju komplek Islamic Centre Iqro. Banyak pelayat-pelayat lain, jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan. Beberapa orang yang datang bersamaan antara lain adalah ust. Arifin Ilham beserta beberapa orang temannya . Aku lihat juga Ust. Hidayat Nur Wahid berjalan di belakang kami.
Ust. Rahmat disemayamkan di salah satu ruangan sekolah di komplek Iqro Centre. Pelayat sangat banyak sekali, jadi kami harus antre untuk melayat beliau. Hanya ada satu pintu masuk kecil. Semua orang berdesak-desakan, namun dengan rapi. Termasuk Ust. Arifin Ilham dan Ust. Hidayat juga ikut ngantri, tidak menyelonong masuk begitu saja. Meskipun mereka adalah orang-orang yang terkenal di negeri ini. Setelah masuk jalan terbagi dua, satu di sisi kiri dan satu di sisi kanan. Pelayat berjalan satu per satu dengan tertip. Di tengah-tengah ruangan itu ada tempat tidur ukuran 1. Jenazah ust Rahmat dibaringkan di atas tempat tidur itu. Tubuhnya ditutupi dengan ‘jarik’ batik. Wajahnya terbuka. Aku lihat dagunya diikat dengan perban. Ada beberapa orang yang menunggui di sisi jenazah. Kami berjalan pelan-pelan samping tempat tidur. Jadi ada dua jalur yang menuju tempat tidur itu. Ada beberapa orang kepanduan yang mengatur para pelayat. Kami tidak boleh berhenti, terus berjalan. Pelayat hanya bisa melambaikan tangan ke arah ust. Rahmat. Terasa sekali suasana haru dan sedih di wajah semua para pelayat.
Akhirnya sampai juga langkahku di dekat ranjang besar itu. Dengan rasa sedih dan haru kami menatap jenazah yang terbaring kaku di atas ranjang. Ust. Rahmat seperti orang tidur biasa. Tidur yang pulas sekali. Wajahnya yang sedikit pucat tampak tenang sekali. Di bibirnya seperti tersenyum. Senyum bahagia. Ingin sekali aku berlama-lama, tetapi tidak mungkin. Kami berdoa untuk Ust Rahmat sambil berkomat-kamit. Kami pun terus berjalan menuju pintu keluar. Ternyata di luar suasanya sudah lebih ramai daripada ketika aku datang tadi. Rasanya semakin malam, para pelayat semakin banyak saja.
Setelah diam beberapa lama kami pulang menuju Bogor. Kami pulang dengan perasaan masgul. Di hati kami masing-masing ada kata-kata yang tak terucap: Kami akan melanjutkan perjuanganmu Ust. Rahmat. Insya Allah.







