Money Politics di Pilkada

Sebenarnya saya tidak terlalu suka menulis tentang politik. Tetapi kenyataan di lapangan membuat saya tergelitik juga untuk menuliskannya. Ini adalah pengalaman saya sendiri ketika berada di Jawa Timur.
Aku berkesempatan datang di sebuah kota kecil di Jawa Timur, jaraknya kurang lebih 3 jam perjalanan dari Surabaya. Kebetulan di kota itu sedang dilaksanakan pilwalkot. Yang menarik adalah jumlah kontestan di pilkada ini. Pada awalnya ada 11 pasangan yang maju untuk bertarung menjadi walikota dan wakil walikota, tetapi pada pelaksanannya tinggal 8 kontestan yang bertarung.
Seperti pilkada-pilkada di kota lain, di kota ini para kontestan juga sibuk untuk berkampanye merebut simpati rakyat. Karena bukan warga kota itu saya tidak terlalu peduli dengan pilkada ini. Tetapi melihat jumlah kontestannya yang banyak membuat saya penasaran juga.
Di sela-sela kunjungan itu saya berbincang-bincang dengan beberapa orang warga kota. Mereka umumnya adalah para buruh, petani, dan pedagang kecil. Beberapa hari sebelum hari pencoblosan mereka bercerita sambil santai di sore-sore hari. Cerita seputar pilkada. Yang membuat saya terkejut adalah informasi tentang ‘money politics’.

Para buruh itu bercerita kalau mereka mendapatkan uang dari tim sukses para kontestan pilkada. Jumlahnya bervariasi ada yang dapat Rp. 20rb sampai Rp. 50rb per orang. Asalkan mereka mencoblos pasangan tersebut. Mereka juga dijanjikan kalau menang akan ditambah lagi menjadi Rp. 100rb. Awalnya aku tidak terlalu percaya. Orang yang bercerita ini bukan satu atau dua orang, tetapi banyak orang. Dan mereka saling membenarkan. Bahkan ada yang mendapat uang dari beberapa calon. Lumayan juga pikirku. Kalau setiap calon memberi minimal Rp. 20rb berarti kalau 8 calon bisa dapet Rp. 160 rb.
Iseng-iseng saya tanya, dapat uang dari peserta nomor berapa? Mereka menjawab dari nomor sekian dan nomor sekian. Setelah beberapa informasi terkumpul, ternyata hampir semua kontestan membagi-bagikan uang. Nah…lho….!!!!
Dari cerita-cerita para ‘rakyat kecil’ tersebut saya mendapatkan kesan kalau mereka hanya dimanfaatkan. Sebenarnya mereka tidak terlalu peduli dengan pilkada dan cenderung berpikiran pragmatis. Ini yang banyak dimanfaatkan oleh para calon dan tim suksesnya. Sebenarnya mereka tahu kalau ‘money politics’ itu melanggar hukum dan tidak baik untuk mereka. Tetapi itu tadi, mereka tidak peduli. Bagi mereka siapa yang memberi uang lebih banyak akan mereka coblos. Yang lebih ironi lagi adalah mereka tidak tahu tentang program-program para calon. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kredibilitas dan kemampuan si calon. Naif sekali.
Setelah hari pencoblosan saya tanya lagi ke mereka. Noblos nomor berapa? Mereka menjawab noblos yang memberi mereka uang. Mereka beralasan, merasa tidak enak karena sudah diberi uang. Apalagi dijanjikan uang yang lebih besar lagi. Wueleh….wueleh…..!!!
Coba bayangkan berapa uang yang digunakan untuk para kontestan ini. Misalkan mereka perlu tambahan 100.000 suara, minimal mereka harus keluar uang sekitar Rp. 2 milyar. Kalau lebih dari itu bisa dihitung sendiri. Belum untuk biaya-biaya yang lain. Dikalikan 8 kontestan. Jumlah ini akan semakin besar.
Pertanyaan berikutnya adalah mereka dapat uang dari mana dan uang siapa?????
Makanya tidak heran jika kemudian orang juga menduga-duga bagaimana mereka mendapatkan kembali uang tersebut. Ibaratnya orang dagang, itu adalah modal mereka, untungnya dapat dari mana?
Misalkan mereka hanya mengandalkan gaji (+tunjangan+bonus, dll). Gaji para walkot x 12 bulan x 5 tahun sama tidak dengan modal kampanye mereka? Saya tidak tahu berapa gaji walikota, tetapi rasanya tidak akan cukup untuk memenuhi modal kampanye mereka. Kalau mereka berhutang dan ada jangka waktunya, lebih berabe lagi. Karena mereka harus ‘ngejar setoran’ agar bisa menutup hutang-hutang itu. Lalu cara apa yang bisa digunakan untuk menutup semua modal kampanye mereka. Jawabannya yang paling logis…ya….KORUPSI.
Dari sisi rakyat, mungkin rakyat tidak sadar. Saat kampanye mereka paling banter dapat uang Rp. 20 rb – Rp. 50 rb. Tetapi selama walikota berkuasa, mungkin ada banyak sekali uang-uang yang tidak sampai pada rakyat. Mereka tidak sadar kalau nanti dana untuk pendidikan, dana untuk pembangunan, dana untuk kesehatan tidak sampai ke tangan mereka. Dana-dana itu ‘ditampung’ dulu oleh walikota terpilih untuk menutupi modal mereka. Mereka tidak sadar kalau mereka telah ‘mengadaikan’ hak-hak mereka. Ini jelas suatu bentuk pembodohan pada rakyat.
Wahai rakyat….sadarlah….. Jangan pilih calon-calon yang bagi-bagi uang. Terima uangnya, tapi jangan coblos nomornya. Biar ini jadi pelajaran untuk mereka, bahwa rakyat tidak bisa dibodohi lagi. Rakyat punya hak untuk memilih, rakyat punya hak untuk memiliki pemimpin yang berkualitas. Jangan jual suara Anda, karena suara Anda menentukan masa depan dan nasip bangsa ini.
Pilih sesuai dengan hati. Pilih pemimpin yang adil. Pemimpin yang dapat mensejahterakan bangsa ini. Lihat program-programnya. Lihat kredibilitasnya. Lihat track record-nya. Lihat ijazahnya…palsu tidak…???
Wahai….bangsaku…bangkitlah….Jangan ulangi kesalahan-kesalahan lama. Harapan itu masih ada. Nasip kita ada di tangan kita sendiri.

Leave a comment