Berbagi Pengalaman dengan Om Tino, Bag. 1

Pagi masih buta ketika bis yang membawaku sampai di kota hujan, Bogor. Tempat yang kutuju pertama kali adalah masjid Al Ihsan, sebentar lagi masuk waktu subuh. Di masjid ini banyak kenangan tertinggal. Kurang lebih 3 tahun lamanya aku ngurusin masjid ini, sebelum aku pergi meninggalkan Bogor.
Waktu itu masih jarang sekali warga sekitar yang sholat di masjid, apalagi sholat subuh. Yang sholat paling hanya marbot. Lama kelamaan masjid mulai ramai. Satu persatu ada warga yang sholat di masjid. Kalau dulu muadzin merangkap iman, sekarang sholat shubuh sudah satu shof penuh. Alhamdulillah.


Baca juga: PERGI HAJI ADALAH SEBUAH PANGGILAN


***

Warga yang dulunya tidak pernah ke masjid, sekarang mulai rajin. Sholat lima waktu hampir selalu di masjid. Salah satu di antaranya adalah Om Tino.
Kalau dilihat dari umurnya Om Tino tidak cocok dipanggil Om. Rambut putihnya sudah mulai banyak. Tapi gayanya tidak kalah dengan para remaja. Temen-temennya pun kebanyakan para ABG. Gaya ngomongnya dan tingkahnya tak kalah dengan ABG. Gaya bicaranya nyantai, humoris, dan ‘ngak bisa di rem’. Tubuhnya tinggi dan langsing. Seperti tidak terjamah oleh umurnya. Pantaslah banyak yang memanggilnya Om. Om Tino punya ‘seragam’ wajib: kaos oblong putih dan celana jean. Ke mana-mana selalu pakai seragam itu.
Om Tino kenyang malang-melintang di ‘dunia kelabu’. Hidupnya hanya untuk mengejar dunia. Dan dia boleh dibilang cukup sukses di ‘jalan’ yang dipilihnya itu. Sampai stu ketika dia ‘kembali’ ke jalan yang benar.
Om Tino mulai aku lihat rajin di masjid sejak tahun 2007. Dengan ‘seragamnya’ itu dia tampak kontras sekali. Hampir tidak pernah ketinggalan sholat tarawih dan sholat subuh. Orang yang sangat menarik, pikirku. Di satu kesempatan aku sapa dia. Sejak saat itu kami pun jadi akrab.
***
Adzan berkumandang merdu dari Al Ihsan. Setelah wudhu aku bergegas menuju ruang utama masjid. Di sana sudah ada beberapa orang, sebagian besar adalah jamaah lama yang aku kenal. Setelah sholat sunat aku segera menyalami mereka. Tapi Om Tino belum terlihat.
Beberapa saat kemudian Om Tino datang. Sekarang tidak lagi pakai ‘seragamnya’ ketika sholat, tapi mengenakan baju gamis khas orang arab. Di kepalanya bertengger kopiah haji warna krem putih menutupi rambutnya yang putih. Jengotnya perasaan lebih panjang dan lebih putih daripada terakhir ketemu ramadhan tahun lalu.
Begitu melihatku Om Tino tersenyum lebar. Aku pun menyalaminya seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Gengaman tanganya masih kuat seperti dulu.
***
Selesai sholat subuh Om Tino mengajak aku mampir di rumahnya. Aku masih punya waktu sekitar 3 jam sebelum berangkat lagi ke Medan.
Om Tino tinggal di jalan cikuray, salah satu kawasan elit di kota Bogor. Dulu tempat ini adalah perumahan orang belanda. Rumahnya kuno dan antik. Rumah Om Tino baru di pugar, tapi masih terkesan antik dan asri.
Kami ngobrol di teras depan, duduk di kursi jati tua nan antik. Dengan ditemani secangkir kopi untuk melepas penat, kami ngobrol tentang banyak hal.
***
PERGI HAJI ADALAH SEBUAH PANGGILAN

One response to “Berbagi Pengalaman dengan Om Tino, Bag. 1

  1. Pingback: Om Tino; Pergi Haji adalah Panggilan | Berbagi Tak Pernah Rugi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s