Om Tino; Pergi Haji adalah Panggilan

Sudah cukup lama cerita ini mengendap di kepalaku. Cerita tentang kisah hidupnya Om Tino. Ini adalah lanjuta kisah yang saya tulis sebelumnya: Berbagi Pengalaman dengan Om Tino.

*****
Om Tino menceritakan bagaimana dia akhirnya menunaikan ibadah haji. Beberapa tahun sebelumnya istrinya sudah lebih dulu pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Om Tino tidak mau ikut. Ketika itu sama sekali tidak terbesit dalam pikirannya untuk pergi ke tanah suci. Ada banyak alasan yang dia utarakan untuk memenuhi ajakan istrinya itu. Intinya adalah Om Tino belum merasa terpanggil untuk pergi haji.

Entah dari mana awalnya, Om Tino lama kelamaan jadi ingin pergi haji. Om Tino sudah mulai sholat dan rajin ke masjid. Keinginan untuk pergi haji semakin kuat. Dia mengajak saudaranya untuk ikut serta dan Om Tino yang akan membayar semua biayanya. Padahal waktu itu Om Tino sedang jadi penggangguran dan dia tidak memiliki uang cukup. Saldo rekening bank menipis.

Om Tino membayar uang muka untuk saudaranya terlebih dahulu hingga mendapat nomor haji. Dia sendiri belum ada kepastian. Waktu terus berjalan dan dia masih belum bisa membayar setoran haji.

Sedikiy demi sedikit akhirnya Om Tino bisa membayar setoran haji untuk mendapatkan nomor haji. Om Tino diberi waktu beberapa minggu untuk melunasi biaya haji agar bisa dapat nomor kepastian untuk berangkat haji.

Keinginan untuk naik haji sudah menggebu-gebu, tapi uangnya tidak ada. Segala cara sudah dicoba, tetap saja uangnya tidak cukup. Dalam keputusasaannya Om Tino mencoba menghubungi kawan-kawan lamanya untuk pinjam uang. Ini langkah terakhir dia untuk mendapatkan uang. Beberapa teman bersedia meminjmkan uang, tapi ada syarat bunganya. Dia bisa memahami hal ini. Bagi pengusaha ‘tidak ada makan siang gratis’, mesti ada keuntungannya. Om Tino yang sudah mulai belajar Islam tahu jika ‘bunga’ itu riba dan merupakan dosa besar. Om Tino tidak ingin berangkat haji dengan uang haram. Dia urungkan untuk meminjam uang.

Waktu terus berjalan tidak peduli. Batas waktu pembayaran tinggal sehari lagi. Om Tino semakin gundah, saudaranya sudah dapat nomor kloter sedangkan dia tidak. Kalau Om Tino tidak mendapatkan uang pelunasan haji, dia tidak bisa berangkat haji.

Dalam kondisi gelisah, Om Tino inggat jika dia pernah meminjamkan uang pada seseorang sebanyak kurang lebih Rp. 30jt. Uang itu lebih dari cukup untuk ongkos pergi ke Baitullah. Om Tino datangi temennya yang meminjam uang. Om Tino utarakan jika dia sedang membutuhkan uang untuk melunasi biaya haji. Temannya berjanji besok siang akan melunasinya. Wajah Om Tino bersinar kegirangan. Impiannya naik haji akan segera terwujud. Esok hari adalah hari terakhir pelunasan.

Keesok harinya Om Tino menunggu dengan tidak sabar. Waktu pelayanan bank hanya sampai jam 14.30 WIB. Jika temannya tidak melunasi sebelum jam itu, dia terancam batal naik haji.

Untuk memudahkan pembayaran, Om Tino menunggu di loket bank. Bank yang biasanya ramai, berangsur-angsur sepi. Om Tino menuju ke loket, dia hafal dengan tellernya karena dia cukup sering ke bank untuk setor biaya haji. Om Tino bilang bahwa dia akan melunasinya hari ini. Hanya saja dia menunggu uang yang akan dibawa oleh temannya. Teller itu pun menuruti dan masih menunggu di loket meskipun hanya Om Tino yang duduk di kursi tunggu.

Om Tino mulai gelisah. Temannya terjebak macet. Jarum jam terus berdetak tanpa bisa dia hentikan. Jam 14.30 lewat, mestinya teller sudah tutup. Mbak penjaga teller juga sudah mulai tidak sabar. Sesekali dia melirik ke Om Tino. Om Tino semakin gelisah. Dia hanya berdoa terus agar bisa naik haji. Om Tino mulai pasrah.

Om Tino sudah bersiap-siap untuk pulang. Tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara pintu yang dibuka dengan kasar. Temannya datang. Alhamdulillah. Kata tahmid terucap dari bibirnya. Antara sedih dan senang bercampur menjadi satu. Kalau tidak malu air matanya sudah tumpah semua. Dari kejauhan teller berdiri dan menyaksikan keharuan ini.

Kantor bank sudah sepi sekali. Di ruangan besar itu seperti hanya dia dan tellernya saja. Om Tino segera meminta uang itu.  Dengan tergesa-gesa Om Tino menuju teller. Matanya berkaca-kaca. Ketika dia menyerahkan uang itu, Om Tino melihat jika kedua mata teller itu juga berkaca-kaca. Andaikan teller itu laki-laki mungkin sudah dipeluk erar oleh Om Tino.

Alhamdulillah. Akhirnya Om Tino bisa melunasi ongkos naik haji dan mendapat nomor kloter. Kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Singkat cerita Om Tino berangkat menunaikan ibadah haji dengan lancar dan selamat kembali ke Indonesia.

Kini Om Tino semakin rajin sholat di masjid. Tapi, Om Tino juga kembali bekerja sebagai konsultan sebuah kafe kopi di pulau dewata.

One response to “Om Tino; Pergi Haji adalah Panggilan

  1. Pingback: Berbagi Pengalaman dengan Om Tino, Bag. 1 | Berbagi Tak Pernah Rugi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s