Malam itu saya mengantar umminya anak-anak ke dokter. Istri saya sudah beberapa hari batuk dan belum juga reda meskipun sudah meminum obat batuk. Dalam perjalanan kami melihat seorang gelandangan yang sedang duduk di depan sebuah ruko yang sudah tutup. Pakaiannya compang-camping, sudah robek di sana-sini. Rambutnya pun panjang dan gimbal karena tidak pernah mandi. Kami ingat gelandangan ini, beberapa hari yang lalu kami juga melihatnya di sisi jalan yang lain. Malam-malam dia berjalan di kegelapan, kemudian berhenti di sebuah tong sampah dan mengais-ngais isinya. Mungkin dia lapar lalu mencari-cari sisa makanan yang bisa untuk mengisi perutnya.
Kali ini dia duduk di trotoar yang sedikit gelap. Cahaya remang-remang dari arah depan membuat tubuhnya terlihat seperti siluet. Dia duduk termenung dan sekali-kali mengais-ngais isi keranjangnya. Entah apa yang dia cari.
‘Kasihan dia, Bi!’, celetuk istri saya.
‘Iya’, jawab saya lirih.
Setelah sampai di depan klinik, saya antar istri saya masuk dan mendaftar di petugas pendaftarnya. Lalu saya keluar lagi untuk melihat si gelandangan itu. Kebetulan posisinya tidak jauh dari klinik yang kami kunjungi. Saya perhatikan dia beberapa saat. Saya jadi ingat beberapa hari yang lalu ketika dia sedang mengais-ngais tong sampah. Mungkin dia sedang lapar, pikir saya.
Lalu saya bilang ke istri saya, kalau saya ingin membeli makanan untuk gelandangan ini.
‘Iya, Bi. Belikan saja, kasihan dia’, jawab istri saya.
Saya segera meluncur mencari ‘angkringan’ terdekat. Kebetulan saya kenal penjual angkringan yang ada di prapatan jambon. Saya belikan dua bungkus nasi, tempe, tahu, dan beberapa lauk lainnya. Setelah saya bayar, saya segera ke tempat gelandangan itu duduk.
Dia tidak saya temukan lagi di tempat itu. Sepertinya dia sudah berjalan lagi. Pasti tidak jauh-jauh dari tempat ini. Saya coba tengok kanan-kiri. Dia terlihat berjalan dikeremangan malam menuju ke barat. Saya kejar dia dan mencoba memanggilnya.
‘Iki panganan ngo awakmu (Ini makanan untukmu)’, kataku.
Dia segera menerimanya. Tercium bau badannya yang kurang sedap. Wajahnya berkumis dan berjengot awut-awutan, tatapan matanya kosong, dan tangannya kotor sekali.
‘Sopo jenengmu? (siapa namamu?)’, tanyaku.
‘Ora ngerti….ora ngerti….’, jawabnya sambil berlalu.
Banyak pengemis dan gelandangan di kota kecil Magelang ini. Gelandangan yang satu ini agak lain. Saya lihat dia tidak pernah meminta-minta. Hanya berjalan atau duduk-duduk saja. Kalau merasa lapar dia berjalan dan mencari makanan di tong-tong sampah.
Alhamdulillah, ya Allah. KAU beri kami kecukupan rizki. KAU rizkikan pada kami makanan yang cukup. Kami tidak pernah merasa lapar dan mesti mengais-ngais sisa makanan. KAU rizkikan pada kami pakaian yang baik, pakaian yang tidak compang-camping. Alhamdulillah ya…Allah, KAU karuniami kami rumah untuk kami berteduh dan beristirahat di malam hari.
Ya..Allah, ampunillah kesalahan dan dosa-dosa kami, kekhilafan kami dan kealpaan kami. Jadikan kami hamba yang selalu bersyukur kepada-MU, dan menggunakan setiap rizki yang ENGKAU karuniakan di jalan-MU. Amin.
…………..