Tahun lalu ada sebuah proyek besar dari Kementerian Dalam Negeri, yaitu proyek e-KTP. Saya masih ingat sekali proyek ini sering diiklankan di televisi dan diulas di berbagai media. Ada yang mendukung, namun banyak juga yang mencibir. Konon, anggaran proyek eKTP sampai Rp. 6 T. Glek…..!!!!
Saya merasa senang plus bangga ketika saya mendapat jatah E-KTP. Meski dapat E-KTPnya sekitar beberapa bulan kemudian. KTPnya bagus, ada memori magnetiknya dan konon data2 diri juga tersimpan dalam E-KTP tersebut.
Saya termasuk orang yang mendukung proyek eKTP itu, terlepas dari banyaknya kecurigaan tentang bocornya anggarannya. Saya mendukung, karena eKTP ini akan banyak memudahkan proses administrasi dan pelayanan untuk ‘warga negara’ Indonesia. Idealnya memang setiap penduduk Indonesia memiliki nomor dan datanya tersimpan rapi di pemerintahan. Nomor identitas dan datanya bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan, misalnya: mengurus KK, SIM, asuransi, pendidikan, akun bank, dan lain2.
Saya punya pengalaman menarik dengan nomor identitas ini. Kebetulan selama kami tinggal Swedia bisa mendapatkan nomor identitas. Di sana disebutnya person number. Nah, saya dapat nomor cantik 3434. Abim nomornya 2424. Nomor ini ternyata sakti sekali. Ketika saya mau mendaftarkan menjadi anggota perpustakaan kota, yang ditanya person number. Waktu saya mau langganan internet, yang ditanya person number. Waktu anak saya mau periksa di puskesmas yang ditanya person number. Waktu istri saya mau periksa kandungan dan melahirkan yang ditanya person number. Bahkan, ketika Yusuf lahir, dia belum diberi nama sudah mendapatkan person number. Saya lihat sendiri orang yang kena denda naik tram yang ditanya person number. Untuk urusan2 yang ‘official’ alias resmi pertanyaan pertama adalah person number. Setelah itu ditanya data2 lainnya untuk konfirmasi. Data2 kita ter-record dalam person number itu.
Saya membayangkan E-KTP mengarah pada person number tersebut. Saya bisa memaklumi kalau masih ada sedikit kekurangan, asal jangan parah kelemahannya.
Nah, kebetulan saya mesti pindah balik lagi ke Bogor. Administrasi kependudukan jadi mesti pindah ke Bogor juga. Saya mengurus surat pindah, pindah KK, dan juga ganti KTP. Urusan di Magelang lancar2 saja. Urusan pindah ke Kab. Bogor saya urus sendiri. Saya pikir mestinya aparat Kab. Bogor lebih canggih, apalagi sudah ada E-KTP.
Nyatanya ngurus pindah, KK, dan KTP masih seperti jaman baeula. Bahkan lebih ribet drpd di Magelang. Antreannya tidak teratur. Parahnya lagi yang melayani adalah anak sekolah yang sedang PKL. Mestinya data pindah saya sudah terdata. Ada kesalahan yang sedikit mengganggu, misalnya: kecamatan saya tinggal. Lha wong Desa dan Kecamatannya kok tidak singkron.
Saya ngurus KK dan KTP baru cukup lama. Sepertinya semua masih dikerjakan secara manual. Di kantor kecamatan tidak terlihat sama sekali sisa alat E-KTP. E-KTP saya yang ‘canggih’ itu di minta dan diganti dengan KTP biasa. Ketika saya tanya; kok tidak dapat E-KTP baru. Kata petugas, sudah habis dan tidak ada ‘program’ lagi.
Yah………ternyata saya hanya sebentar menikmati proyek pemerintah yang Rp. 6 T itu. E-KTP itu juga cuma canggih di fisiknya saja. Infrastrukturnya entah seperti apa. Bahkan, di berita tivi proyek E-KTP ini masuk ke radar KPK. E-KTP sekedar ‘proyek’ atau ‘program’ saja. Entah oleh pemerintahan baru akan di-proyekkan lagi atau tidak?