Catatan-Catatan Umroh – Bagian 10

Menginjakkan Kaki di Masjidil Haram Pertama Kali

Bis yang ditunggu pun datang juga. Bisnya berwarna orange dan ada tiga pintu otomatis; pintu bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Di bagian depannya ada papan tulisan Deafah Hotel Group. Ustad Rofi’i memberi tahu bahwa bis ini gratis untuk pelanggan hotel. Tandanya gelang plastik warna orange dan ada logonya D; logo group hotel Deafah. Dari hotel ini hanya rombongan jama’ah umroh kami saja, maklum kami terlambat ikut sholat jamaah di masjidil haram.

Kami yang Bapak2 semua sudah berpakaian ihram, ibu2 ada yang mengenakan mukena putih ada juga yang menggenakann mukena hitam. Ustad Rofi’i terus membimbing kami mengucapkan kalimat talbiyah. Jarak antara hotel dengan masjidil haram tidak terlalu jauh, sekitar 500-700m saja. Naik bis tidak lebih dari 5 menit saja. Saya lihat ke arah luar. Dari kejauhan menara masjid sudah terlihat. Kami melewati bagian perluasan masjid yang belum jadi. Setelah tanjakan sedikit, lalu jalan menurun. Pelataran masjidil haram sudah terlihat. Hati berdegub keras serasa tidak percaya bahwa kami akhirnya sampai juga ke Makkah.

Bis berhenti tidak jauh dari pertigaan dekat pelataran masjid. Kami semua turun dengan tertib sambil mulut masing2 melafalkan kalimat talbiyah. Ustad Rofi’i berjalan di depan dan kami mengikutinya dari belakang. Saya gandeng tangan Umminya Royan erat-erat. Pak Gunawan dan Pak Totok berjalan di depan saya. Pak Soleh dan istrinya di belakang saya. Posisi kami ditengah2 jama’ah.

Kami melewati polisi yang berjaga di pertigaan. Jalan terus ditutup, sehingga mobil2 yang sebagian taksi dan bis harus berbelok balik ke arah bawah. Jalan ini macet dan ramai. Sesekali ada bunyi klakson taksi dan klakson bis. Setelah melewati aspal, kami melangkah menuju ke pelataran masjid yang tersusun dari lantai marmer putih. Ada semacam gedung kecil kotak dan di atasnya terlulis ‘EXIT 4’, ditulis juga dalam bahasa arab. Kami berjalan terus, melewati tempat wudhu untuk laki2 dan tempat orang minum. Di depan kami gerbang masjidil haram yang megah sudah terlihat. Di seberangnya berdiri kokoh Zam-Zam Tower yang terkenal itu. Di bagian atasnya adalah jam besar. Jam menunjukkan pukul satu siang lebih sedikit.

Pelataran masjid ini sangat luas. Orang2 berpakaian ihram mulai banyak terlihat berjalan searah dengan jalan kami. Ada orang arab, orang berwajah India atau Pakistan, ada juga orang Turki, dan orang2 berwajah putih dengan mata agak sipit, mungkin jamaah dari Eropa Timur. Kami semakin dekat dengan gerbang masjid. Di salah satu pintunya tertulis Gate 70. Tapi ustad Rofi’i tidak mengajak kami masuk ke pintu itu.

“Kita masuk lewat pintu khusus untuk jamaah umroh,” kata ustad Rofi’i memberi aba2 pada kami.

Kami pun melangkah mengikuti di belakang beliau. Kami berjalan terus mendekat ke arah Zam-Zam Tower. Melewati gerbang besar dengan dua menara yang mengapitnya. Tapi kita masih berjalan terus. Sampailah kita di pntu yang dijaga beberapa orang askar. Jama’ah diminta melepas sandal dan memasukkannnya ke dalam kantong plastik lalu menyimpannya di tas kecil yang kita bawa. Suasana hari ini benar-benar ramai. Pintu masuk untuk umroh ini kecil saja, membuat orang3 berdesak2kan untuk masuk.

Askar2 itu berjaga2 sambil matanya tajam mengawasi setiap jamaah yang mau masuk. Ada juga beberapa orang petugas berpakaian gamis putih dan menggunakan rompi coklat. Mereka mengawasi tas dan bawaan para jama’ah. Jika ada jamaah yang membawa bungkusan besar atau tas besar akan di hentikan dan diperiksa bawaannya. Tas yang besar tidak boleh di bawa masuk. Tas itu harus ditinggal atau dititipkan di tempat penitipan.

Terus terang, perasaan kami antara percaya dan tidak percaya, antara mimpi dan kenyataan. Hati terasa diaduk; haru, sedih, gembira, menjadi satu. Saya pegang erat tangan Umminya Royan, samping saya Pak Gunawan, Pak Totok di depan saya. Ustad Rofi’i yang agak pendek tertutup oleh jamaah yang lain. Kalimat talbiyah terus terucap dari mulut kami. Bersahut2tan dengan jamaah lain.

Masjid ini benar2 megah. Langit2ya tinggi dan semuanya terbuat dari batuan alam. Kami belum bisa melihat Ka’bah. Kami berjalan pelan2 sambil berdesak2kan. Semuanya dengan wajah terharu dan tidak sabar ingin melihat Ka’bah. Kami berjalan terus dan berbelok dua kali. Di beberapa bagian masjid ini ditutup dan tidak boleh dilewati karena sedang ada renovasi, mungkin karena itu jama’ah harus berjalan sedikit memutar.

Meski jama’ah penuh sejak, suasana di dalam masjidilharam terasa dingin. Banyak kipas yang ada di atas kepala kami. Kipasnya berukuran besar dan hanya berjarak sekitar 1,5m dari atas kepala jama’ah. Di beberapa tiang ada kipas2 yang lebih kecil yang menempel dan mengarah ke bawah. Di bagian bawah setiap tiangnya juga terasa udara dingin yang berhembus. Udaranya lebih dingin daripada di puncak. Saya pun terasa kedinginan.

Lampu2 gantung besar mengantung di langit2 masjidil haram. Ada lampu2 lain yang menempel di dinding dan melingkar di tiang2 masjid. Suasana di dalam majid ini terang benderang.

Setelah berjalan beberapa lama, di depan kami ada tangga menuju ke lantai bawah. Di tengah2nya ada dua eksalator (tanga berjalan). Jamaah berduyun2 ke bawah. Di lantai bawah ini lah kami bisa melihat langit luar dan cahaya matahari yang cerah. Dari kejauhan, di atas kerumunan orang2 itu di depan kami mulai terlihat bagunan kotak berwarna hitam. Ya…. itulah bagian atas Ka’bah yang kami rindukan.

Tanpa teras air mata kami tumpah seketika. Do’a-do’a, kalimat2 pujian meluncur dari mulut kami. Hampir semua wajah-wajah itu berlinang air mata. Kami berjalan masih berdesak-desakan. Ustad Rofi’i sesekali menengok ke belakang untuk melihat jamaahnya. Kami masuk dari rukun Yamani.

Tangan kanan saya memeluk istri saya. Saya pegang erat-erat. Tangan kanan saya pegangan dengan tangan Pak Gunawan. Istri Pak Soleh pegangan tangah istri saya, Pak Soleh di belakangnya. Pak Totok dibelakang sendiri. Kami bergandengan seperti ular yang berada di lautan manusia.

Tidak ada mata yang tidak mengucurkan air mata. Tidak ada mulut yang tidak basah berdzikir.

Ya …Robb kami penuhi panggilanmu


1. Muqodimah
2. Manasik Terakhir
3. Penundaan Keberangkatan
4. Keberangkatan Hari Minggu
5. Tiga Hari di Hotel Negeri Sembilan
6. Jin-jin dan Setan Penunggu Hotel
7. Menunggu dengan Ketidakpastian
8. Akhirnya Berangkat ke Jeddah
9. Bergabung dengan Rombongan Ja’aah Madura
10. Menginjakkan Kaki di Masjidil Haram Pertama Kali
11. Umroh: Thawaf, Sa’i, Tahalul
12. Thawaf ke-2 dan Sholat di dalam Hijr Ismail
13. Perjuangan di Hajar Aswad dan Multazam
14. Mencium Hajar Aswad yang Kedua Kali
15. Cerita Tentang Mas Sugiono, Pemimpin Jama’ah Madura
16. Jin-jin di Makkah dan di Madinah
17. Belanja di Makkah
18. Ibadah Sepuas-puasanya di Masjidil Haram
19. Minum Air Zam-zam dan Kebutuhan Buang Hajat
20. Pak Gunawan Makan Daging Unta
21. Saling Berbalas Kentut
22. Jabal Nur dan Gua Hiro
23. Suasana Jalan-jalan di Makkah
24. Mau Diusir dari Hotel
25. Katering Orang Madura
26. Ketika Tubuh Mulai Drop
27. Tawaf Wada’
28. Berangkat Menuju Madinah
29. Madjid Nabawi, Raudah dan Makan Rasulullah
30. Suasana di Madinah
31. Berkunjung ke Jabal Uhud
32. Pemakaman Baqi’
33. Katering di Madinah
34. Belanja di Madinah
35. Salam Perpisahan
36. Kami akan Kembali Lagi, Insya Allah

4 responses to “Catatan-Catatan Umroh – Bagian 10

  1. Pingback: Catatan-Catatan Umroh – Bagian 12 | Berbagi Tak Pernah Rugi

  2. Pingback: Catatan-Catatan Umroh – Bagian 16 | Berbagi Tak Pernah Rugi

  3. Pingback: Catatan-Catatan Umroh – Bagian 13 | Berbagi Tak Pernah Rugi

  4. Pingback: Catatan-Catatan Umroh – Bagian 2 | Berbagi Tak Pernah Rugi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s