2. Gara-gara minum kopi di Siborong-borong
Kejadiannya sudah cukup lama, tapi pengalaman ini tidak pernah terlupakan.
Ceritanya saya sedang menjadi ‘enumerator’ untuk survey kopi di Prop. SumUt, tepatnya di Kab. Tapanuli Utara. Ini pengalaman pertama saya pergi ke daerah sekitar danau Toba. Saya pergi sendirian. Di daerah ini terkenal dengan kopi Sidikalang. Saya tidak pergi ke Sidikalang, tetapi ke daerah lain sentra penghasil kopi. Ada dua jenis kopi yang ditanam di daerah ini, yaitu kopi Robusta dan kopi Arabika. Citarasa kedua kopi ini berbeda. Kalau kopi arabika ada rasa asamnya.
Singkat cerita saya menyewa motor dan satu orang guide untuk mengantar saya keliling daerah danau Toba. Orang batak memang gemar minum kopi dan tuak. Kalau sore biasanya mereka minum2 di kedai. Kopi biasanya mereka sangrai dan tumbuk sendiri. Cita rasanya pun bisa berbeda2 antar warung kopi. Saya diantar oleh guide saya, Pak Purba, ke salah satu warung yang cukup terkenal kopinya. Sampai di warung saya langsung pesan satu gelas kopi panas. Pak Purba sudah memperingatkan saya, kalau belum terbiasa minum kopi arabika jangan minum banyak2. Sajian kopi ala warung kopi itu adalah satu gelas gede.
“Ah….tidak apa2, Pak Purba. Saya suka minum kopi, kok,” jawab saya sedikit sombong.
Kami pun ngobrol, makan, dan minum kopi. Tak terasa satu gelas kopi itu pun habis tak tersisa. Kopinya terasa sedikit asem tapi enak.
Kopinya memang nikmat di mulut, tapi ketika sampai di perut rasanya lain. Perut seperti dikocok2. Seperti ada gas yang mulai terakumulasi perut. Saya pun mengajak P Purba segera pulang.
Perut saya semakin terasa tidak karuan. Mules, kembung, dan seperti mau meledak. Sampai di tempat penginapan saya segera lari menuju toilet. Secepat kilat saya buka celana dan langsung jongkok di jamban.
“Jrrrooootttr…..cret…..dduuuuttt…,”
Isi perut keluar tanpa bisa dicegah. Malam itu saya pergi ke toilet tiga empat kali.
Esok hari, Pak Purba sudah datang menjeput. Hari ini rencananya saya mau wawancara dengan beberapa petani kopi. Perut sebenarnya masih belum ‘tenang’. Namun, saya tetap pergi.
Kami pergi ke desa2 dengan naik motor sewaan. Ketika sampai di tengah2 kebun, perut mulai berulah lagi.
“Pak….pak berhenti dulu…..perut saya….tidak tahan…..,” pinta saya ke Pak Purba.
Setengah berlari saya turun dari motor dan lari menuju rimbunan pohon kopi. Tanpa pikir panjang saya segera buka celana dan jongkok. Isi perut langsung keluar tanpa permisi. Cair-cair kenthal. Aku intip sedikit, seperti bumbu kacang….hiiiii…..
[Tidak perlu aku ceritakan detailnya]
“Kan sudah saya peringatkan kemarin, jangan banyak2 minum kopinya. Si Mas sih tidak nurut. Tuh akibatnya, ” kata Pak Purba.
“Iya…pak. Saya tidak tahu kalau seperti ini jadinya.”
Tiga hari lamanya aku sering buang hajat di kebun kopi. Yah….anggap ngasih pupuk gratis ke petani. Sejak itu saya kalau minum kopi di warung pesan porsi kecil.
Sebulan lamanya saya keliling Taput dan sekitarnya. Cukup kenyang nyobain bermacam2 kopi lokal. Dan saya tidak kapok minum kopi arabika lagi. Nikmat sih.
==TO BE CONTINUED==