Kalau dulu Ust. Arifin Mukti tidak menerima saya di Pesma Fatimatuzzahra, mungkin akan lain jalan hidup saya. Beliau sudah saya anggap seperti Bapak saya sendiri.
Waktu itu beliau adalah salah satu ketua Takmir Masjid Fatimatuzzahra, masjid besar yang baru selesai di bangun di tengah2 kampus Unsoed Grendeng. Fatimatuzzahra mengadakan pesantren kilat Ramadhan. Saya ikut jadi peserta pesantren kilat itu. Padahal waktu itu kehidupan saya jauh dari agama.
Rambut saya masih panjang sebahu, pakai celana jin ketat, pakaian ala kadarnya dan pakai gelang besi. Motor saya RX King. Lengkap lah artibut saya, lebih mirip preman daripada santri.
Selepas syawal, di saat sholat jum’at ada pengumuman. Kalau tidak salah ingat yang mengumumkan adalah Mas Imung. Isinya; Fatimatuzzahra membuka pendaftaran mahasiswa untuk tinggal di masjid dan menjadi santri mahasiswa alias pesantren majasiswa disingkat Pesma. Pesma tidak dipungut biaya, hanya diminta tinggal di masjid, mengaji, belajar agama, dan menghidupkan kegiatan di masjid.
Entah bisikan dari siapa waktu itu, akhirnya saya ikut mendaftar dan ikut seleksi. Ada 14 mahasiswa yang ikut seleksi. Saya diwawancara langaung oleh Ust. Arifin Mukti. Jumat berikutnya diumumkan nama2 mahasiswa yang lolos seleksi. Saya salah satunya. Teman2 yang lain: Cessi Fauzi Herman, Agung Sundowo, dan Wigyo. Sebelumnya sudah ada Mas Imung (Mulyadi Yulianto), Mas Ikhsan, dan Mas Yono.
Entah apa yang membuat Ust. Arifin Mukti meloloskan saya. Kalau dilihat dari potongannya, rasanya tidak layak saya jadi santri di Fatimah. Dari empat orang yang diterima, saya sendiri yang beda. Anehnya, Ust. Arifin tidak menyuruh saya potong rambut dan ganti penampilan. Saya jadi santri dengan penampilan anak jalanan.
Singkat cerita saya jadi anak masjid. Lambat laun saya mulai berubah dan ‘kembali ke jalan yang benar’. Rambut akhirnya saya potong. Meski saya keteteran mengikuti jadwal kajian di pesma, saya tetap aktif dan menikmati aktifitas saya di Fatimahtuzzahra.
Di sini saya semakin dekat dengan Ust. Arifin Mukti. Saya sering berkonsultasi dengan beliau. Diskusi macam2, mulai masalah agama, mahasiswa, politik, dan ekonomi. Saya sering mengantar beliau dengan motor saya. Saya juga sering ke rumah beliau. Bahkan ketika saya mau menikah, beliaulah yang melamarkan untuk saya mewakili keluarga saya. Adik saya pun pernah saya titipkan di rumah Ust. Arifin Mukti.
Meski sekarang saya jauh dari Purwokerto, setiap saya mudik dan lewat jalur tengah, saya selalu sempatkan untuk menengok beliau. Atau minimal telepon.
Saya menghormati Ust. Arifin Mukti. Beliau menjadi wasilah bagi saya untuk ‘kembali ke jalan yang benar’ dan membimbing saya untuk berdakwah semampu ilmu saya. Beliau berpesan agar saya tidak melupakan ‘jalan’ ini meski jadi apa pun saya. Insya Allah, saya akan menunaikan pesan ini.