Klarifikasi Pak Sono pemilik rumah tersebut via group FB |
*** Sono Puspahadi Masya Allah ….ini berita bohong ….kebetulan si Sariman ini penjual nasi goreng yang mulutnya fitnah banget…….kebetulan saya tinggal di rumah ini dari 1992 – 2015 …..dan sejak 2010 banyak banget orang cina dan orang Arab yang ngincar rumah ini untuk dijadikan ruko (rumah toko)….keluarga kami bertahan tidak mau jual rumah ini ……akibatnya banyak cerita gosip dilontarkan untuk menjatuhkan harga rumah ini….dan si Sariman tukang nasi goreng itu melemparkan fitnah keji ini karena dia tidak mau membayar kenaikan sewa ….. *** *** |
Sariman (bukan nama sebenarnya) merapikan gerobak dan tenda nasi gorengnya. Baru beberapa hari ini dia pindah jualan di beloman Bomen ini. Tepatnya di depan rumah tua belokan Bomen. Rumah ini cukup besar, dua lantai dan halamannya cukup luas. Tapi rumah ini tampak seperti kurang terurus. Lampunya remang-remang, garasinya tampak gelap dan halamannya jarang dibersihkan. Di halaman rumah itu ada pohon mangga.
Sariman berjualan di trotoar jalan tepat di depan pintu gerbang rumah tua ini. Gerobaknya di taruh di trotoar. Sedang meja tempat makan di taruh di halaman rumah depan garasi. Sariman mulai berjualan menjelang magrib.
Karena masih baru, pelanggannya masih sedikit. Apalagi kalau hujan pembelinya cuma beberapa orang saja. Maklumlah kota Bogor kota hujan, kalau lagi musimnya air seperti tidak pernah berhenti turun dari langit.
Sariman duduk di belakang gerobaknya memandangi jalanan yang ramai dengan angkot dan motor. Sambil menghisap rokoknya pikirannya menerawang entah ke mana. Tiba-tiba dia seperti mencium sesuatu yang terbakar. Dia melirik ke kompornya. Kompornya sudah sejaman dia matikan setelah memasak satu porsi nasi goreng tadi. Sariman menoleh ke kanan dan kekiri. Trotoarnya sepi. Dia tidak memperdulikan bau terbakar itu.
Selang beberapa lama Sariman ingin mengambil air di ember yang ada di pojok meja makan, dekat dengan pintu garasi rumah. Tiba-tiba Sariman terperanjat. Ada nenek-nenek duduk di kursi warungnya. Nenek itu duduk di ujung yang remang-remang. Sariman tidak tahu sudah berapa lama nenek itu duduk di situ.
“Punten, Nek. Mau ambil air.”
Nenek itu hanya memberi isyarat dengan sedikit menganggukkan kepalanya.
“Maaf, Nek. Nenek tinggal di sini. Maaf, saya baru di sini jadi belum kenal semua.”
“Nenek sudah makan belum? Saya bisa buatkan nasi goreng untuk Nenek. Kebetulan masih banyak hari ini.”
Nenek itu diam saja tidak menjawab.
Sariman masih ngobong beberapa kalimat sekedar untuk berbasa basi. Tapi Nenek itu hanya diam, paling hanya memberi isyarat dengan menggerakkan sedikit kepalanya saja.
“Maaf, Nek. Saya mau beres-beres. Sepertinya gerimis terus dan sudah larut malam.”
Sariman berjalan menuju gerobaknya dan dia sibuk membereskan dagangannya. Karena sibuk beres-beres, Sariman tidak menyadari kapan Nenek itu kembali ke rumah. Tahu-tahu sudah tidak ada di tempat duduknya tadi.
Setelah menyimpan gerobak dan perlengkapan berjualannya, Sariman beranjak pulang. Kontrakannya tidak jauh dari situ, kira-kira 500 meter ke dalam di jalan Jabaru III. Dia pulang dengan membawa sisa dagangannya yang belum laku.
Sampai di depan rumah kontrakan, Sariman membuka pintu rumahnya. Tiba-tiba Sariman kaget bukan main dan hampir saja loncat ke luar. Nenek yang di warung tadi sudah duduk di kursi tamunya.
“Astaghfirullah …….!!!!”
“Ne … ne… nenek sudah di sini…..??????”
Sariman bukan orang yang penakut, tapi kali ini Sariman merasa ketakutan. Kakinya gemetaran. Matanya melotot ketakutan. Mulutnya seperti terkunci. Sariman pingin teriak tapi tidak bisa. Sariman duduk terjongkok di ruang tamu rumah kontrakannya.
Nenek itu menatap tajam ke arah Sariman. Pakaiannya kain seperti pakaian Nekek-nenek jaman dahulu. Rambutnya panjang digulung di belakang. Nenek itu tidak pakai alas kaki. Wajahnya tirus dan pipinya kurus cekung.
“Aku yang tinggal di rumah itu.” suaranya berat, dalam dan sedikit melengking.
“Di rumah itu ada banyak keluargaku. Di pojok garasi depan yang tinggal adalah lutung hitam. Jangan ganggu dia.”
“Di pohon mangga depan rumah yang tinggal pocong.”
“Di pohon sebelahnya tempat tinggal kunti.”
“Di kamar utama rumah ada kuburan.”
“Mereka semua keluargaku. Kami sudah lama tinggal di rumah ini. Janggan ganggu. Kami tidak akan mengganggumu.”
“Kamu boleh berjualan di depan, tapi jangan berbuat macam-macam.”
Sariman hanya bisa menggangguk pelan. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Mulutnya seperti terkunci.
Nenek itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Meninggalkan bau seperti rambut atau tanduk yang terbakar.
Sariman masih tertunduk lesu. Sariman masih tidak percaya ini mimpi atau nyata. Sariman hanya bisa berdzikir sebisanya. Setelah agak tenang dia menuju ke tmpat tidurnya dan terlelap sampai subuh.
***
Sariman terus berjualan di belokan Bomen. Dia memang tidak pernah diganggu oleh Nenek-nenek itu lagi. Kadang-kadang saja dia melihat ada monyet besar yang jongkok di pojok garasi. Sekilas Sariman pernah juga lihat putih-putih berdiri di bawah pohon mangga atau di bawah pohon besar di sebelahnya. Tapi hanya itu saja. Mereka hanya menampakkan diri dan tidak mengganggu dia atau pelanggannya.
Lama kelamaan tempat itu jadi semakin ramai. Ada Uda dari Padang yang berjualan sepatu di situ. Ada juga Kang Indra yang buka gosokan batu di samping Uda. Sariman sekarang sudah tidak lagi berjualan Nasi Goreng di depan rumah itu. Kang Indra yang mengantikan berjualan nasi goreng.