Kekurangan bukanlah hambatan. Cita-cita dapat dicapai dengan perjuangan. Kata-kata itu bukan sekedar kata pepatah yang tidak ada isinya. Saya membuktikannya sendiri lewat teman karibku, sebut saja dia JA.
JA anak nelayan miskin di pantura. Ibunya adalah buruh nelayan yang penghasilannya pas-pasan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Bapak JA merantau ke Jakarta sebagai tukang becak. Katanya penghasilan orang tuanya untuk makan sehari-hari saja tidak cukup.
Namun, JA adalah anak yang pandai. Dia pelajar berprestasi di sekolahnya. Guru sekolahnya sangat perhatian terhadap JA. Atas dorongan guru sekolahnya JA mendaftar kuliah di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Dan alhamdulillah JA diterima. Namun, masih ada beberapa kendala lagi, bagaimana JA akan membayar biaya kuliahnya nanti. Gurunya bersedia membantu sebagian dari biaya kuliahnya. Lalu dengan tekad baja, JA berangkat menuju Purwokerto untuk melanjutkan kuliahnya.
Awalnya, JA menumpang di rumah saudara temannya yang letakknya agak jauh dari kampus. Ongkos transportasinya cukup berat baginya. Kemudian JA memberanikan diri untuk meminta ijin tinggal di Masjid Fatimatuzzahra, sebuah masjid besar yang ada di komplek kampus dan hanya beberapa ratus meter saja dari kampusnya JA. Sebenarnya untuk bisa menetap di Fatimatuzzahra harus melalui seleksi terlebih dahulu, tetapi karena JA mendesak terus akhirnya JA diperolehkan menetap oleh ‘mas’ul’ kami waktu itu.
Masjid Fatimatuzzahra
Kuliah terus berjalan, tetapi kiriman dari gurunya mulai tersendat. JA mulai resah bagaimana dia akan membayar kebutuhan kuliah dan makannya sehari-hari. JA mencoba mencari beasiswa ke sana ke mari. Alhandulillah ada beberapa yang diterima, tetapi itu hanya untuk biaya kuliah saja. Sedangkan untuk biaya-biaya yang lain JA masih kekurangan. Yang saya kagum pada JA adalah semangatnya yang pantang menyerah. Dia tetap berusaha mencari jalan untuk memenuhi kebutuhannya.
Akhirnya JA menemukan peluang. JA mencoba untuk berjualan jamur tiram. Awalnya JA menawarkan jamur pada dosen-dosen di kampusnya sendiri. Gayanya yang lucu, ramah, dan penuh semagat membuat banyak dosen simpati padanya. Banyak dosen yang kemudian menjadi pelanggannya. Lalu JA melebarkan daerah pemasarannya ke kampus-kampus lain. Sebagai alat transportasi JA naik sepeda kumbang butut yang dia bawa dari rumah. JA menyususn jadwal pemasaran, hari senin di kampus A, hari selasa di kampus B, begitu seterusnya. Langganan jamurnya pun semakin banyak. Sebenarnya keuntungan dari berjualan jamur tidak terlalu banyak, namun karena ketekunan dan keuletannya dia memiliki penghasilan yang lumayan.
Kesibukannya tidak hanya berjualan jamur. Di masjid JA juga mengajar mengaji di TPA Fatimatuzzahra yang jumlahnya mencapai puluhan anak. Di kampuspun JA ikut beberapa kegiatan kemahasiswaan. Prestasinya pun cukup lumayan. Pernah JA mendapat IP di atas 3. Tapi seingatku pernah juga dia mendapat IP NASAKOM (Nasip Satu Koma).
Meskipun JA harus ‘berjibaku’ untuk bisa meneruskan kuliah, tetapi JA tetap ceria, lucu, dan suka bercanda. Jarang saya lihat JA bersedih dan mengeluh. Sungguh, saya banyak belajar dari JA bagaimana menghadapi setiap tantangan hidup ini.
Kini JA sudah jadi pengusaha sukses, sudah punya mobil sendiri, dan berkeluarga.
JA, semoga engkau tidak pernah lupa dengan perjuanganmu dulu. Jangan hanya mengejar dunia, ingatlah juga ‘masa depanmu’ di akhirat.