Muhammad Yusuf Abdurrahman umur satu hari.
Sebuah foto tidak hanya menyimpan gambar. Sebuah foto menyimpan sedetik peristiwa, merekam secuil memori, sepenggal kenangan, sepotong kebahagiaan, sejumput keindahan, atau kepedihan dan kesengsaraan. Sebuah foto – bagi saya – adalah rekaman sejarah kehidupan kami yang mungkin tak akan bisa terulang lagi. Salah satu foto-foto yang saya abadikan dan menjadi moment bersejarah bagi kami adalah foto-foto yang merekam kelahiran anak ketiga kami: Muhammad Yusuf Abdurrahman.
***
Minggu-minggu terakhir bulan Ramadhan 1435 H di kota Go:teborg, Swedia. Istri saya menyampaikan kabar yang sedikit membuat saya terkejut sekaligus menggembirakan.
“Bi, Ummi terlambat”, katanya.
“Terlambat apa maksudmu?” tanyaku sedikit ragu.
“Harusnya Ummi sudah datang bulan, tapi sudah seminggu belum apa-apa nih. Jangan-jangan perut Ummi ‘isi’ lagi nih, Bi!”, katanya menjelaskan.
Saya sedikit terkejut dan seakan tidak percaya. Kami memang ingin punya anak lagi, rahim istri saya sudah ‘kosong’ sembilan tahun sejak kelahiran Abim – anak kedua kami. Tapi, tidak secepat ini yang saya duga.
“Masak, sih?” kata saya seakan tidak percaya sambil mengelus-elus perut istri saya tercinta.
Saya berjanji akan membeli alat tes kehamilan di apotik di Norstad sepulang dari kampus besok. Setelah saya membeli alat tes berbentuk strip itu, langsung saya memberikannya ke istri saya. Sore itu juga istri saya mengetest alat itu dengan urinnya.
“Bener, Bi. Hasilnya positif. Nih lihat sendiri!” katanya sambil menunjukkan strip tes kehamilan yang ada garis dua, tanda bahwa istri saya positif hamil. Senang, gembira, sekaligus khawatir jadi satu. Sulit saya ungkapkan dengan kata-kata. Langsung saya peluk dan saya ciumi istri saya. Saya elus-elus perutnya.
“Bener nih…Dedek ada di perut, Ummi? ” kata saya sambil mengelus-elus perut stri saya.
Kami memberi tahu anak-anak kami, Mas Royan dan Mas Abim.
“Horree……!!!!!”, teriak mereka serempak. Mereka memang sudah lama ingin punya adik lagi.
“Aku pingin punya adik laki-laki,” kata mereka hampir serempak.
Saya dan istri saya tentu saja ingin punya anak perempuan. Maklum, dua anak pertama kami laki-laki. Istri saya jadi orang paling cantik di rumah ini. Istri saya pun sudah capek menghadapi kenakalan kedua anak laki-laki kami. Hampir setiap hari mereka berantem yang membuat sewot umminya. Istri saya tidak bisa membayangkan jika ada tiga anak laki-laki di rumah.
Namun, bagi kami, laki-laki atau perempuan adalah semua karunia Allah. Laki-laki atau pun perempuan yang akan Allah karuniakan kepada kami akan kami terima dengan senang hati. Insya Allah.
***
Di balik kegembiraan ini ada kekhawatiran yang menghantui saya. Nomor kependudukan -Person Number- keluarga saya belum keluar dari kantor pajak/kependudukan setempat. Jika kami tidak memiliki person number, maka semua biaya perawatan dan pengobatan untuk ibu maupun anak-anak harus kami tanggung sendiri. Biaya pengobatan sangatlah mahal jika tanpa bantuan dari pemerintah setempat atau pun asuransi.
Teman saya yang kebetulan istrinya juga hamil sampai harus memulangkan istrinya ke Indonesia, karena tidak sanggup untuk membiayai kelahirannya. Biaya untuk kelahiran normal jika dirupiahkan bisa mencapai Rp. 80-jutaan. Uang biaya hidup dari beasiswa yang saya terima tidak akan cukup untuk membayar biaya kelahiran ini. Belum lagi biaya perawatan dan periksa per bulannya.
Mau tidak mau saya harus mengusahakan agar person number untuk keluarga segera keluar dari kantor pajak setempat. Jika kami bisa mendapatkan nomor ini, semua biaya perawatan bahkan biaya kelahiran GRATIS-TIS.
Saya berserta seluruh keluarga datang ke kantor pajak untuk menanyakan tentang aplikasi person number keluarga kami. Awal tahun lalu kami sudah mengajukan aplikasi ini tetapi ditolak. Kini kami akan mengajukannya lagi. Setelah menunggu antrian yang cukup lama, akhirnya tiba giliran kami. Kami segera menyerahkan berkas-berkas kepada petugas pajak. Setelah memeriksa berkas-berkas kami, petugas pajaknya berkata kepada kami:
“Kalian tidak bisa mendapatkan person number. Karena ijin tinggalmu kurang dari satu tahun”, katanya datar tanpa ekspresi.
Kaget. Terutama istri saya. Dari raut wajahnya saya bisa merasakan keterkejutan bercampur dengan kekecewaan, dan kesedihan. Kami harus segera pulang sebelum bayi ini lahir, bisik hati kecil kami.
Saya mencoba untuk bernegosiasi dengan petugas pajak itu. Saya katakan, bagaimana kami bisa mendapatkan ijin tinggal lebih dari satu tahun, kalau ijin tinggalnya diberikan per tahun dan selalu di bulan-bulan tahun berjalan. Kalau seperti itu caranya, tidak ada yang bisa mendapatkan nomor. Saya mencoba menyampaikan argumentasi saya. Setelah berdiskusi agak lama, akhirnya petugas itu bisa saya yakinkan, bahwa saya memang layak mendapatkan person number. Alhamdulillah, seminggu kemudian person number keluarga saya keluar. Kami bisa mendapatkan pelayanan kesehatan cuma-cuma dari pemerintah setempat.
***
Pelayanan kesehatan untuk ibu hamil di Swedia memang luar biasa. Ibu hamil sangat diperhatikan kesehatannya. Di setiap distrik terdapat semacam puskesmas untuk ibu hamil. Ibu hamil dikontrol perkembangan kehamilannya dan kesehatannya secara rutin oleh seorang bidan – Barnmoska. Bidan yang merawat istri saya namanya Eva Lotta, orang Swedia asli. Umurnya sudah agak tua, dan termasuk bidan senior. Eva selalu memeriksa dengan teliti dan sangat sabar.

Eva Lotta sedang memeriksa bayi kami. Foto ini kami cetak dan kami jadikan hadiah untuk Eva Lotta, sebagai tanda terima kasih kami. Dia senang sekali menerimanya.
Istri saya sedang diperiksa oleh Eva Lotta.
Karena istri saya sudah berumur lebih dari 35 tahun, Eva Lotta menyarankan pemeriksaan yang lebih mendetail untuk ibu dan si janin. Kehamilan di usia ini memiliki peluang besar terkena penyakit ‘down sindrom’. Eva Lotta membuatkan jadwal pemeriksaan di puskemas lain yang memiliki perlengkapan lebih lengkap.
Di hari yang telah ditetapkan, istri saya diperiksa di puskesmas yang sudah ditunjuk tadi. Pemeriksaannya sangat lengkap, termasuk test darah dan pengukuran janin menggunakan USG. Pemeriksaan ini dilakukan oleh seorang bidan berpengalaman dan seorang dokter kandungan. Test ini memakan waktu cukup lama, dan hasilnya keluar seminggu kemudian. Alhamdulillah, janin kami sehat, dan kemungkinan terkena down sindrom sangat kecil.
Pemeriksaan janin dilakukan dengan teliti oleh bidan dan dokter kandungan.
Selain pemeriksaan itu, istri saya juga wajib dites kesehatan lengkap, termasuk, test darah, test urin, test tinja, rotgen organ dalam dan mengisi kuisioner kesehatan. Semuanya GRATIS, dibiayai oleh pemerintah.
Selain itu kami juga diwajibkan ikut kursus singkat tentang proses kelahiran di rumah sakit kota. Kami mengikuti kursus ini di Ostra Sjukhuset (Rumah Sakit Selatan). Kursus ini menjelaskan tentang seluk beluk kelahiran, prosedur jika mau melahirkan, alat-alat yang digunakan, pilihan alat bius, dan pilihan proses kelahiran. Bahkan jika pasien mau, bisa memilih melahirkan di dalam air. Kami juga diberi VCD tentang proses kelahiran. Sayang penjelasn VCD itu dalam bahasa Swedia, padahal bahasa Swedia kami sangat terbatas.
***
Eva Lotta di meja kerjanya.
Singkat cerita, Eva Lotta memeriksa kesehatan kehamilan istri saya secara rutin hingga menjelang hari kelahiran. Dia memperkirakan hari kelahirannya tanggal 12 April 2012. Seminggu sebelum hari kelahiran, Eva Lotta masih memeriksa istri saya.
“Jika kamu merasa mulas-mulas dan seperti ingin melahirkan segera hubungi Ostra Sjukhuset.”, katanya. “Namun, jika lebih dari tanggal 12 kamu belum melahirkan, datanglah ke sini lagi,” katanya melanjutkan.
Hari kamis pagi, tanggal 12 April, saya ajak istri saya berjalan-jalan ke Svartemosse. Kami membawa beberapa potong roti dan biji-bijian untuk makan burung di Svartemosse. Kami ke Svartemosse selain untuk menghirup udara segar, juga agar istri saya banyak berjalan. Berjalan bisa memperlancar proses kelahiran. Kami berjalan-jalan keliling danau sambil memberi makan bebek, angsa, burung dara, dan burung camar. Pagi hari ini kami menyaksikan pemandangan yang luar biasa di langit Svartemossa. Ribuan burung camar terbang menari-nari di angkasa. Saya sering menyaksikan burung-burung camar yang terbang di angkasa, tetapi kali ini yang paling banyak. Subhanallah.

Memberi makan bebek, angsa, merpati, dan burung camar di tepian danau Svartemossa. Hari kamis pagi. Sorenya umminya sudah harus masuk ke rumah bersalin.
Setelah capek memberi makan burung, kami beranjak pulang. Istri saya pergi ke kamar mandi. Ketika keluar dia bilang:
“Bi, kok rasanya air ketubannya seperti pecah ya? ‘CD’ ummi basah,” katanya menjelaskan.
“Bener?”, kata saya untuk meyakinkan.
Kemudian saya telepon ke rumah sakit untuk ‘booking’ pemeriksaan istri saya. Operator telepon menyarankan agar saya segera ke rumah sakit. Namun, mungkin istri saya belum akan melahirkan. Jadi, kemungkinan kami harus pulang ke apartemen lagi. Di Swedia, ada peraturan bahwa seseorang yang mau melahirkan hanya akan dirawat jika ‘bukaannya’ sudah lebih dari 5. Artinya, proses kelahirannya sudah sangat dekat sekali. Ada teman yang harus bolak-balik ke rumah sakit beberapa kali, karena ‘bukaannya’ belum 5, meskipun perutnya sudah sakit sekali.
Kami pergi ke rumah sakit dengan menyewa taksi. Kami tidak mempersiapkan apa-apa, karena kami pikir ini hanya periksa rutin saja dan mungkin kami akan pulang lagi.
Sampai di rumah sakit istri saya langsung disuruh masuk ke salah satu kamar periksa. Seorang bidan jaga memeriksa perut, ‘bukaan’, dan menciumi lendir yang keluar dari rahim istri saya.
“Kamu harus segera masuk ke kamar bersalin, ” katanya. “Ini tanda-tanda kamu sudah saatnya melahirkan.”
Tidak ada pilihan bagi kami, meskipun kami tidak mempersiapkan apa-apa, kami tetap harus tinggal.
“Kamu tidak harus membawa apa-apa. Semua yang kamu butuhkan sudah ada di sini,” kata si bidan menenangkan kami.
Kami masuk ke kamar bersalin nomor 9. Di rumah sakit Swedia tidak ada kelas-kelasan, semua pelayanan sama. Orang miskin, orang kaya, atau pun pejabat, semua mendapatkan perawatan yang sama. Tidak ada diskriminasi dan tidak dibeda-bedakan. Subhanallah.
Kamar no 9.
***
Kamar bersalin yang kami tempati cukup luas. Ada sebuah tempat tidur untuk si ibu. Dua tempat duduk, kamar mandi, dan di atas tempat tidur terdapat beberapa pilihan alat bius. Alat bius yang populer di Swedia adalah ‘gas ketawa’. Bidan menyarankan kami untuk berjalan-jalan agar ‘bukaannya’ lebih cepat. Kami berkeliling ke lantai bersalin ini. Sedikit berinteraksi dengan ibu-ibu lain dan ‘basa-basi’ dengan perawat yang ada di sana.
Peralatan bius.
Pukul sembilan malam, ‘bukaan’ istri saya masih sama. Jam 11 malam masih sama juga. Kata bidan, hanya 3% persen saja ibu hamil yang melahirkan di hari yang diperkirakan.
“Jika anakmu lahir malam ini, anak kamu termasuk yang 3 persen itu, ” katanya.
Rupanya setelah lewat tengah malam bukannya masih belum cukup. Bidan menawarkan kepada istri saya untuk memberikan suntikan yang dapat memicu ‘pembukaan rahim’. Istri saya mengiyakannya. Selang infus dipasang di tangan istri saya. Beberapa sensor pendeteksi kontraksi otot perut dan rahim juga dipasang. Sensor ini dihubungkan ke layar monitor di samping tempat tidur.
Bidan memasang selang infus ke tangan istri saya.
Selang infus terpasang rapi di tangan.
Monitor mendeteksi kontraksi otot perut dan rahim.
Setelah diberi suntikan pemicu itu, istri saya mulai merasa mulas-mulas. Kontraksinya semakin cepat dan jedanya lebih singkat. Layar monitor menunjukkan grafik kontraksi yang lebih cepat. Beberapa kali bidan memeriksa, namun bukaannya belum cukup katanya.
Waktu seperti berjalan melambat. Istri saya meringis menahan sakit di perutnya. Istri saya memilih untuk tidak menggunakan bius, karena tidak terbiasa. Bidannya sedikit kaget dan ‘surprisse’, karena baru sekarang dia membantu kelahiran tanpa bius.
“Kamu ibu yang kuat,” katanya.
Kepala anak saya sudah di mulut rahim, tetapi belum ada tanda-tanda mau lahir. Setelah ditunggu cukup lama dan belum ada tanda mau lahir juga, Bidan memanggil dokter kandungan yang sedang jaga. Dokter memasukkan semacam alat untuk mengambil darah dari si bayi. Jika terjadi apa-apa, mereka siap segera untuk melakukan operasi cesar. Di Swedia, kelahiran normal lebih diutamakan. Kelahiran dengan operasi cesar hanya dilakukan jika dalam kondisi terpaksa dan tidak ada jalan lain selain operasi cesar. Beberapa menit setelah melakukan test terhadap darah janin, dokter bilang:
“Bayimu tidak apa-apa. Sehat. Kita tunggu saja sampai lahir dengan normal.” katanya.
Dua jam sudah istri saya meringis menahan sakit yang tidak terperikan. Butiran keringan membasahi keningnya. Kira-kira pukul tiga tiga puluh mulai ada tanda-tanda mau melahirkan. Bidan segera memanggil seorang bidan lain untuk membantunya. Dia memberitahu kepada istri saya untuk mengejan jika kontraksi datang.
Saya pegangi tangan istri saya, saya ciumi, dan saya memberi semangat padanya.
“Berusaha terus, Mi. Allah bersama kita,” kata saya memberi semangat.
Saya terus berdzikir kepada Allah. Dzikir saya semakin keras ketika kontraksi semakin kuat dan sering.
Kurang lebih pukul dua lebih empat puluh lima pagi, anak kami akhirnya lahir dengan normal dan selamat. Bidan yang membantu kelahiran anak kami segera menyerahkannya ke istri saya. Tali pusar masih menempel seperti selang, si bayi menangis keras di dada umminya. Badannya masih basah, bau amis ketuban, dan ada sedikit darah.
Yusuf beberapa detik setelah kelahirannya.
Secara naluriah dan insting, bayi langsung mencari ‘nenen’ umminya. Dia segera menyusu ke ‘nenen’ ibunya. Tali pusarnya masih menempel dan belum dipotong.
Setelah anak itu tenang, bidan menyerahkan gunting ke pada saya.
“Kamu potong sendiri tali pusar anakmu,” katanya kepada saya.
Bidan menyepit tali pusat dengan alat penjepit, lalu saya dengan mengucap bismilah saya memotong tali pusar itu. Pengalaman yang sulit saya ungkapkan dengan kata-kata.
Setelah saya potong, saya gendong anak saya. Saya kumandangkan adzan dan iqomah di kedua telinganya. Bidan memandang tingkah laku saya dengan pandangan heran dan takjub. Saya bisa lihat dari pandangan matanya ke saya. Orang Swedia banyak yang atheis dan tidak percaya tuhan. Meskipun banyak yang beragama Nasrani Protestan, tapi mereka tidak percaya tuhan. Pemandangan ini mungkin sedikit aneh untuknya.
“Selamat datang ke dunia, anakku,” bisikku ke telinga anakku. Saya ciumi dia dan saya peluk sampai saya bisa merasakan detak jantungnya.
Kemudian saya serahkan bayi ke bidan lagi. Dia segera menimbang dan mengukur panjang badan anak saya. Bidan yang lain merawat istri saya, membersihkan rahim dan tali pusar maupun ‘ari-ari’.
Bayi kami hanya diberi topi dan handuk saja. Kemudian langsung diberikan lagi ke istri saya.
“Mulai saat ini anak ini tanggung jawabmu,” katanya sambil menyerahkan anak saya.
Sejak saat itu bayi kami tidak pernah jauh dari kami. Tidak dibawa oleh bidan ke ruangan khusus bayi seperti di rumah sakit atau rumah bersalin di Indonesia. Bayi tidak mungkin tertukar, karena selalu dekat dengan orang tuanya.
***
Siang hari kami pindah ke kamar perawatan di lantai di atas lantai bersalin ini. Di kamar ini ada dua tempat tidur. Jika banyak ibu yang melahirkan, kamar ini digunakan untuk dua orang. Untungnya hari ini tidak banyak yang melahirkan, jadi kamar ini hanya untuk kami saja. Di rumah sakit ini, semua harus dilayani sendiri. Ibu harus merawat bayinya sendiri, mengambil makan sendiri, dan mengurus segala keperluan bayinya sendiri. Perawat hanya memeriksa dan membantu jika dibutuhkan saja.
Kami menginap di ruang perawatan hanya satu malam saja. Setelah bayi kami diperiksa oleh dokter anak dan dinyatakan sehat kami diperbole hkan untuk pulang. Sebelum pulang kami harus merapikan kamar kami lagi. Membawa semua pakian kotor, selimut kotor, bantal kotor ke ruang loundry. Bahkan, kami harus mengepel ruangan ini sendiri. Semua pasien di lantai ini melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan.
Setelah selesai semua saya lapor ke bidan jaga jika kami mau pulang.
“Silahkan pulang,” katanya.
“Tidak ada yang harus kami lakukan, kami bayar, atau kami tandatangani sebelum pulang?” tanyaku.
“Tidak ada,” katanya. “Kamu akan mendapatkan undangan langsung ke apartemenmu atau nomor teleponmu untuk memeriksakan bayimu lagi,” katanya melanjutkan.
Kami segera pulang tanpa membayar uang seperser pun. Bahkan uang transport taksi juga akan diganti oleh pemerintah. Kami hanya membawa secarik berkas yang berisi person number untuk bayi kami, namun, belum ada namanya. Satu lagi, bayi yang baru lahir di Swedia langsung mendapatkan nomor, bahkan sebelum diberi nama.
***
Sesampai di apartemen, kakak-kakak menyambut kami dengan gembira. Mas Royan dan Mas Abim berebut ingin mengendong adiknya. Mereka senang, gembira, dan ceria sekali.
Mas Abim memberikan nama ke adiknya.
“Bi, aku beri nama adik ‘Yousef’, ” usulnya.
“Baik. Nama yang bagus. Tapi kalau di Indonesia namanya jadi ‘Yusuf’, bukan ‘Youssef’,” kataku menjelaskan.
Saya menambahkan kata “Muhammad” di depan nama Yusuf. Umminya menambahkan “Abdurrahman” untuk nama terakhir.
“MUHAMMAD YUSUF ABDURRAHMAN” nama lengkap anak kami yang ketiga.
Yusuf atau kakaknya sering memangilkan ‘Youssef’ hanya ‘numpang lahir’ di Go:teborg. Satu setengah bulan kemudian kami kembali ke tanah air tercinta.
Selamat tinggal Go:teborg. Suatu saat nanti kami akan kembali lagi, bersama Youssef menengok kota kelahirannya. Insya Allah.
:::::oo0oo:::::
Foto-foto yang bercerita dan monumental lainnya silahkan klik di link ini: