Tag Archives: petir

Kisah-kisah di ArasoE: Pak Bledek meninggal di sambar petir

ArasoE sudah masuk musim penghujan. Di cuacanya mirip dengan di Bogor, kalau sedang musim hujan, hujan bisa turun kapan saja. Kadang-kadang pagi, siang, malam, bahkan bisa setiap hari. Banyak pekerjaan kebun sedikit terhambat karena turun hujan. Cuma di ArasoE tidak seperti di Bogor yang petirnya menggelegar cetar. Petirnya biasa-biasa saja, jarang bahkan.

Hari ini saya berboncengan dengan Pak Mundakir ke kota untuk mencari garpu mata empat. Kita sudah cari di pedagang yang kita beli minggu lalu. Garpu mata empatnya habis. Cari-cari di tempat lain sama saja. Nihil. Akhirnya kami pulang. Setengah perjalanan tiba-tiba langit mulai mendung. Beneran, pas masuk desa Walenreng hujan turun.

Kami berteduh di sebuah masjid di pinggir jalan. Kebetulan pas sholat dhuhur, jadi berteduh sekalian sholat berjamaan di masjid. Sambil menyelam minum aqua. Selesai sholat hujan masih belum reda. Terdengar suara petir meyambar di kejauhan. Biasa-biasa saja. Setelah hujan reda, kami melanjutkan pulang ke mess untuk makan siang.

Esok harinya kami ke kebun. Saya ke Sumaling dan Pak Mundakir ke Rayon Barat, Tanete Harapan. Ternyata, kawan-kawan mandor dan sinder kebun banyak yang melayat di Bulu 2. Ada pensiunan karyawan PG dan sekarang jadi kontraktor angkutan tebu meninggal. Kebun kosong. Singkat cerita, kami pulang siang ke mess, biasa untuk makan siang.

Di situlah kita ngobrol-ngobrol kegiaan kebun hari ini. Ibu mess dan orang kebun menceritakan tentang pensiunan PG yang meninggal. Ceritanya tragis.

Tiga hari sebelumnya, hari senin, Pak Bledek (bukan nama sebenarnya) datang ke koperasi. Kantor koperasi tepat di samping mess; S10. Namanya Pak Bledek, bukan nama sebenarnya. Nama sebenarnya kalau diartikan sama dengan ‘petir’ atau ‘bledek’, suara mengelegar ketika turun hujan. Pak Bledek ini menaggih biaya angkutan tebu yang belum dibayarkan. Nilainya sampai ratusan juta. Beliau minta dibayarkan sebagian dulu, karena ada beberapa tanggungan yang harus dibayarkan segera. Petugas koperasi bilang kalau tidak ada uang dan belum bisa membayarkan tagihan itu. Pak Bledek terus mendesak, karena memang sedang perlu uang. Saking jengkelnya, sampai beliau berkata:

“Kalau tidak dibayarkan, tiga hari lagi saya meninggal.”

Petugas koperasi tidak bisa memenuhi keinginan Pak Bledek. Beliau pulang.

Saat ini sudah tidak musim giling. Kegiatan angkutan tebu tidak banyak. Kegiatan Pak Bledek mengangkut tebu pun praktis vacum. Tiga hari kemudian, hari rabu siang, Pak Bledek naik motor menuju ke kebun rumput gajahnya. Sampai siang belum pulang. Karena sore belum pulang juga, keluarganya mulai mencari-cari. Ada tetangga yang melihat motor pak Bledek ada di pinggir kebun rumput gajah.

Dicarilah Pak Bledek ke kebun. Namanya dipanggil-panggil tidak menyahut. Lalu di cari ke dalam kebun. Pak Bledek ditemukan sudah tergeletak di kebun. Di bagian dadanya ada bekas luka bakar. Tubuhnya basah karena kehujanan. Beliau sudah tidak bernyawa lagi. Hebohlah kampung Bulu2. Jenazah Pak Bledek di bawa ke rumahnya dan mulai prosesi pemakaman. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Semoga beliau khusnul khotimah.

Di saat yang bersamaan. Sehari setelahnya ketika saya ngobrol di pondok kebun Sumaling. Mandor kebun juga menceritakan kalau kemarin siang ada kuda yang tersambar petir di kebun. Orang Bone biasa memelihara kuda dan sapi. Kuda ini digembalakan di kebun, di pinggir kebun atau di kebun-kebun ‘bero’. Pada saat itu di kebun sebelahnya juga ada tenaga yang sedang tanam tebu. Ketika petir meyambar kuda itu, tenaga-tenaga kaget semua dan berlarian menuju ke tempat yang lebih aman. Hujan hanya gerimis sebentar saja di kebun ini. Setelah itu reda. Tapi, kuda ini sudah gorong mati terbakar tersambar petir.

Kebun tebu di ‘low land’ tempatnya datar. Tidak ada pohon yang tinggi. Jadi kalau musim hujan dan petir sangat berbahaya. Karena bisa tersambar petir. Kejadian ini bukan yang pertama, sudah beberapa kali.

Semoga Pak Bledek diampuni semua dosa-dosanya, diterima semua amal-amalnya dan dilapangkan kuburnya. Aamiin.