Perbedaan Pola Pikir Entrepreneur dan Peneliti

Entepreneur mulai dari melihat sebuah peluang atau potensi. Kemudian mencari-cari pasar, mencari harga, mengitung keuntungan, dan mencari konsumen potensial. Baru kemudian mencari cara bagaimana membuat sebuah produknya. Baik atau buruk, sempurna atau tidak sempurna tidak jadi soal, yang penting produk itu bisa dijual dan bisa menghasilkan uang. Setelah mendapat uang baru langkah berikutnya melakukan riset untuk memperbaiki dan menyempurnakan produk itu dengan membayar peneliti-peneliti profesional. Hasilnya, sebuah produk yang laku dijual dan menghasilkan benefit yang nyata.

Penelitia mulai dari sebuah ide, seringkali dari membaca literatur atau browsing di internet. Kemudian mencoba memformulasikan ide itu menjadi sebuah topik penelitian. Mengaduk-aduk kembali isi internet untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang topik itu. Selanjutnya, mencoba merumuskan ‘state of the art’ dari topik itu. Baru kemudian mencari peluang untuk menjadi topik penelitian. Untuk justifikasi, dicari-cari peluang dan potensi pasarnya. Membuat dasar teori yang njlimet, merusmuskan hipotesis yang scientific, dan mencari metode yang rumit-rumit dan secanggih mungkin. Setelah itu pusing tujuh keliling mendapatkan dana untuk penelitian. Kalau beruntung mendapatkan dana penelitian, penelitian akan dilaksanakan seteliti mungkin se-scientific mungkin. Setelah itu dengan malas ditulis dalam sebuah laporan penelitian. Kalau masih punya semangat, ditulis menjadi sebuah paper ilmiah dan diterbitkan di jurnal-jurnal. Akhirnya, hasil penelitian itu numpuk di perpustakaan atau website-website referensi lainnya. Kalau pun membuat prototipe produk, susah sekali dijual dan sangat jarang dilirik oleh pengusaha. Tragis…..

Saya beberapa kali diskusi dengan entepreneur, pengusaha, marketing, dan orang-orang yang punya ide bisnis luar biasa. Kejelian mereka melihat peluang pasar dan mendapatkan cara untuk bisa mendapat keuntungan sungguh luar biasa. Bahkan, produknya belum jadi, belum diriset, mereka sudah bisa mendapatkan pembelinya.

Untuk menghasilkan produknya, tidak jarang mereka melakukan riset ‘asal-asalan’, yang penting jadi dengan modal youtubing dan googling. Meskipun ‘riset’nya terkesan ‘asal-asalan’, tapi hasinya nyata dan bisa dijual. Salut….

Baru-baru ini saya dibuat tercengan ketika diskusi dengan seseorang yang punya ide bisnis ruaar biasa. Idenya simpel saja, dia melihat ada limbah pertanian yang volumenya sangat besar di suatu pabrik: 10rb ton/bln. Orang kebanyakan mengabaikannya bahkan sama sekali tidak melihatnya sebagai ‘gunung uang’. Termasuk saya.

Limbah itu terdiri dari tiga komponen utama, sebut saya A, B, dan C. Setelah dia browsing-browsing, googling-googling, dan tanya ke kolega-koleganya, tiga komponen itu memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Nilai kasarnya, sebut saja rp. 100rb/kg. Hitung saja Rp. 100rb * 10.000.000. Dua belas digit……weleh-weleh….pengusaha mana yang tidak tergiur dengan ‘gunung uang ini’.

Merubah potensi limbah ‘gunung uang’ 10.rb ton/bln menjadi ‘uang’, bukanlah pekerjaan mudah. Tentunya perlu dana besar juga dan perlu penelitian intensif agar bisa menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Mulai lah ‘teman’ saya itu cari informasi ke sana-sini dan melakukan ‘riset gila-gilaan’ di dapur rumahnya sendiri. Meskipun belum sempurna dan hampir saja membakar rumahnya, dia berhasil mendapatkan tiga produk yang ‘mungkin’ bisa dijual.

Saat ini dia sedang mencari pembeli ke negeri gingseng. Kalau sudah dapat pembelinya, baru dia akan mulai membuat pabrik dan melakukan ‘riset yang benar’.

***
Terus terang, sebagai seorang peneliti saya merasa iri (dalam artian positif) dengan ‘teman’ saya ini. Tanpa dasar keilmuan yang mencukupi, tanpa studi literatur yang cukup, tanpa landasan teori yang kuat, tanpa hipotesis yang sahih, tapi hasil risetnya ‘nyata’.

Nah, saya, kadang-kadang mesti mikirin bagaimana membuat hipotesis yang shahih, latar belakang yang kuat, dan metode yang valid, ketika dibuat proposal pun sering tidak didanai. Hasilnya, masih jauh dari ‘bisa dijual’, paling banter numpuk di perpustakaan.

Sepertinya, saya mesti mem-format-ulang cari berfikir saya selama ini. Hampir 25 tahun hidup saya dihabiskan di bangku sekolah/kuliah, tapi belum bisa memecahkan masalah yang ‘nyata’ dan memberikan kontribusi yang ‘nyata’. Apalagi menghasilkan produk yang ‘laku’ dijual.

-It is save to shutdown your mind-

6 responses to “Perbedaan Pola Pikir Entrepreneur dan Peneliti

  1. Betul. Memang berbeda pola pikirnya sesuai dengan target masing2 yang hendak dituju.   Tks n brgds/ anung

    Email : anungrey2008@yahoo.co.id SMS  : 08777 1 333 745

    >________________________________ > Dari: Berbagi Tak Pernah Rugi >Kepada: anungrey2008@yahoo.co.id >Dikirim: Sabtu, 5 Oktober 2013 10:00 >Judul: [New post] Perbedaan Pola Pikir Entrepreneur dan Peneliti > > > > WordPress.com >isroi posted: “Entepreneur mulai dari melihat sebuah peluang atau potensi. Kemudian mencari-cari pasar, mencari harga, mengitung keuntungan, dan mencari konsumen potensial. Baru kemudian mencari cara bagaimana membuat sebuah produknya. Baik atau buruk, sempurna atau tid” >

  2. Sungguh luar biasa cerita Pak Isroi, saya sangat terkesan.
    Kalau boleh saya bertanya kepada Bpk, jika ada seseorang yang meminta untuk belajar kepada Pak isroi…. Apakah yang Bpk katakan dan apakah pak Isroi memerimanya atau menolaknya?
    Karna mungkin saja orang yang mau belajar itu kagum dengan ilmu Pak Isroi sebagai Peneliti…..
    Jika Pak isroi sempat untuk menjawabnya, tolong dikirimkan ke email saya abdulzakizahron@gmail.com
    Terima kasi banyak sebelumnya dan salam hormat saya.

  3. pak isroi, terkadang aku juga merasa tidak sebebas entrepreneur sejati yang hidup dari kecil sebagai entrepreneur. aku merasa titel saya sebagai sarjana mengkungkung ruang gerak kreaktifitas. sering kali aku bergumam saat ingin mengeluarkan ide baru “mat, sederhanakan pikiranmu” kira2 seperti itu.. mereka tidak memikirkan yang njimet untuk memulai, cukup simpel saja kalau mau mulai ya mulai, nanti ada pembelajaran di dalamnya.. salut untuk entrepreneur sejati!

    • Saya juga mulai belajar untuk melihat permasalahan secara lebih sederhana, kemudian mencari-cari peluang. Cuma masalahnya saya belum punya ‘keberanian’ seperti seorang entepreuner.

  4. era sekarang memang era nya enterpreuneur (menurut pemikiran saya)…yang sama adalah keduanya menjalani proses tes dan ukur…keren artikelnya kang

Leave a comment