Tag Archives: bioplastik

Tantangan dan Peluang Plastik Ramah Lingkungan (Bioplastik, Biodegradable Plastik dan Sustainable Additive) dalam Skema EPR (Extended Producer Responsibility) di Indonesia

Extended Producer Responsibility (EPR)

Extended Producer Responsibility (EPR) adalah pendekatan kebijakan lingkungan yang memperluas tanggung jawab produsen terhadap produk mereka hingga tahap pasca-konsumsi — yaitu ketika produk tersebut menjadi limbah. EPR menuntut produsen tidak hanya bertanggung jawab saat mendesain dan menjual produk, tetapi juga saat produk dikumpulkan, diolah, didaur ulang, atau dibuang.

EPR bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan, mendorong inovasi desain produk, serta mengalihkan beban pengelolaan sampah dari pemerintah kepada produsen melalui prinsip polluter pays.

Meskipun produsen adalah pemilik kewajiban utama dalam EPR, pelaksanaannya tidak dijalankan sendirian. EPR adalah bagian dari ekosistem multi-pihak yang melibatkan:

AktorPeran Utama
Produsen / Brand OwnerMembiayai dan menjamin pengelolaan limbah produk mereka
PRO (Producer Responsibility Organization)Lembaga kolektif yang mewakili produsen dalam menjalankan kewajiban EPR
PemerintahMenetapkan regulasi, target nasional, sistem pelaporan, dan penegakan hukum
Operator Sampah & Daur UlangMenjalankan pengumpulan, sortir, dan daur ulang
Sektor Informal (pemulung, bank sampah)Mitra penting di lapangan, khususnya di negara berkembang
Lembaga Audit / KonsultanMembantu pelaporan, pemantauan, dan verifikasi kinerja EPR
KonsumenBerperan melalui pemilahan sampah, pengembalian kemasan, atau pembelian produk yang bertanggung jawab

Konsep Dasar EPR

EPR didasarkan pada prinsip “polluter pays” dan ekonomi sirkular, di mana produsen:

  1. Bertanggung jawab mengurangi dampak lingkungan dari produk yang mereka hasilkan,
  2. Didorong untuk merancang produk yang lebih ramah lingkungan,
  3. Mendanai atau mengelola sistem pengumpulan dan daur ulang produk mereka sendiri.

Tanggung Jawab Produsen dalam EPR

AspekTanggung Jawab
Desain produkMembuat produk lebih mudah didaur ulang, dapat digunakan ulang, atau biodegradable
PengumpulanMenyediakan sistem pengumpulan limbah produk pasca-konsumsi (sendiri atau melalui pihak ketiga)
PengolahanMemastikan limbah plastik dari produk mereka didaur ulang atau dikelola secara aman
PelaporanMelaporkan volume produk yang diproduksi, didistribusikan, dan dikelola limbahnya
PembiayaanMembiayai program pengumpulan dan daur ulang limbah produk mereka

Struktur Ekosistem EPR

Berikut adalah aktor-aktor utama dalam ekosistem EPR dan perannya:

AktorPeran dalam EPR
Produsen / Importir / Brand OwnerPemilik kewajiban utama: mendanai dan memastikan produk mereka dikelola di akhir siklus hidup
PRO (Producer Responsibility Organization)Lembaga kolektif yang dibentuk/digunakan produsen untuk mengelola pengumpulan, daur ulang, pelaporan, dan edukasi
Pemerintah (nasional dan daerah)Membuat regulasi EPR, menetapkan target, memantau, menegakkan hukum, dan menetapkan kerangka kerja
Operator Pengelola Sampah / Daur UlangMenyediakan infrastruktur pengumpulan, sortir, dan daur ulang (bisa BUMD, swasta, koperasi, atau komunitas)
Sektor Informal (pemulung, bank sampah, LSM)Berperan penting di negara berkembang — pengumpul utama sampah pasca-konsumsi
Lembaga Pemantau / Auditor / KonsultanMembantu verifikasi, pelaporan, dan perhitun gan kewajiban
KonsumenDidorong untuk berpartisipasi melalui pemilahan, pengembalian, atau penggunaan kembali

Salah satu actor kunci dalam EPR ini adalah PRO (Producer Responsibility Organization). PRO (Producer Responsibility Organization) adalah lembaga yang dibentuk oleh produsen atau brand-owner untuk menjalankan kewajiban Extended Producer Responsibility (EPR) secara kolektif. PRO tidak membuat produk, tetapi mewakili para produsen dalam mengelola siklus akhir produk mereka, khususnya limbah kemasan, elektronik, baterai, dan lainnya. Lembaga PRO di Indonesia yang sudah ada adalah IPRO (Indonesia Packaging Recovery Organization). IPRO ini dilauncing oleh PRAISE (Packaging & Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment).

Anggota IPRO:

  1. Coca‑Cola Indonesia
  2. Danone Indonesia
  3. Indofood Sukses Makmur
  4. Nestlé Indonesia
  5. Tetra Pak Indonesia
  6. Unilever Sampoerna Indonesia
  7. SIG (pengemas industri / aseptik)
  8. SC Johnson Indonesia
  9. Suntory Garuda Beverage (SGB)

Peluang Bioplastik dan Biodegradable Plastik Masuk dalam Skema EPR untuk Flexible Packaging (Kemasan Flexible)

Flexible packaging adalah jenis kemasan yang bentuknya fleksibel, lentur, dan mudah berubah bentuk, biasanya terbuat dari film plastik tunggal atau multilayer, serta terkadang dikombinasikan dengan bahan lain seperti aluminium foil atau kertas. Kemasan flexible dipakai secara luas karena keunggulan fungsionalnya, namun juga menjadi salah satu sampah kemasan plastik yang sulit untuk didaur ulang.

Beberapa contoh kemasan flexible yang banyak mendapatkan sorotan adalah kemasan sachet. Kemasan sachet adalah kemasan flexible dengan ukuran kecil (biasanya <15gr), umum digunakan untuk kemasan:

  • Sabun cair, sampo dan detergen;
  • Kopi, gula, sambal, saos;
  • Obat dan kosmetik.

Kendala utama kemasan sachet antara lain:

MasalahPenjelasan
Sulit atau tidak dapat didaur ulangBanyak flexible packaging yang berupa multilayer. Kombinasi multilayer plastik–aluminium yang tidak bisa diproses oleh sistem daur ulang konvensional. Ringan dan tipis yang membuatnya sulit dipilah di fasilitas daur ulang. Nilai ekonominya rendah, sehingga tidak menarik bagi industri daur ulang.
Tidak terstandardVariasi bahan dan desain yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk membuat sistem daur ulang yang kompatible. Tidak semua flexible packaging dilengkapi dengan label material dan panduan pemilahan.
Sulit dikumpulkanUkurannya kecil, sering tercecer, tidak ekonomis untuk dikumpulkan
Volume sangat besarDisebut dalam laporan UNEP sebagai kontributor utama mikroplastik dan sampah laut di negara berkembang
Sumber utama polusi visual dan drainase tersumbatTerutama di kawasan urban dan pesisir

Flexible packaging efisien secara fungsional, namun problematik secara end-of-life. Biodegradable plastik/biodegradable additive/sustainable additive berpeluang mengisi celah ini. Sustainable additive/biodegradable additive/biodegradable plastik secara teknis bisa masuk ke dalam skema EPR yang sudah ada, seperti: waste to energi menjadi RDF (refused-derived fuel), mechanical recycle, atau pun landfill. Di sisi lain solusi ini juga menawarkan jalur alternatif untuk flexible packaging ini, yaitu kompos, biodegradasi di tanah dan/atau landfill terkontrol/sanitary.

Biodegradable plastik, biodegradable additive, dan sustainable additive memiliki peluang strategis untuk masuk ke dalam skema EPR di Indonesia, khususnya sebagai solusi bagi kemasan fleksibel (flexible packaging) yang sulit didaur ulang secara konvensional. Dengan catatan mampu menunjukkan bukti ilmiah mengenai biodegradasi yang aman dan terverifikasi dan tersertifikasi, serta memiliki jalur pengelolaan akhir yang sesuai seperti kompos industri atau landfill terkontrol/sanitary, maka produk-produk ini dapat diakui sebagai bagian dari solusi pengurangan sampah plastik. Dalam konteks EPR Indonesia, peluang ini semakin terbuka melalui mekanisme pilot project, pengumpulan terpilah, atau insentif biaya kontribusi (eco-modulation fee) yang mendorong adopsi bahan kemasan yang lebih ramah lingkungan.

Konsep Sirkular Ekonomi dari Bioplastik (Biodegradable dan/atau Biobased Bioplastik) dan Sustainable Additive

Dalam kerangka ekonomi sirkular, selain daur ulang mekanik (mechanical recycling), terdapat juga siklus penting yang sering diabaikan, yaitu biological recycling atau organic recycling. Biological recycle merujuk pada proses pengembalian material ke alam melalui degradasi biologis seperti komposasi atau fermentasi, yang mengubah bahan organik menjadi humus atau energi hayati. Produk seperti biodegradable plastik dan sustainable additive dirancang untuk mengikuti jalur ini, di mana materialnya dapat terurai secara hayati melalui aktivitas mikroorganisme di lingkungan terkontrol (misalnya fasilitas kompos industri) atau alami, tanpa meninggalkan residu berbahaya. Konsep ini memperluas makna circular economy—tidak hanya mengandalkan daur ulang fisik, tetapi juga memungkinkan material tertentu untuk “kembali ke tanah” secara aman dan produktif, sejalan dengan prinsip ekologi alami.

Bioplastik memainkan peran penting dalam mendukung ekonomi sirkular karena dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meminimalkan dampak lingkungan dari limbah plastik. Saat ini, bioplastik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Biobased Bioplastic:

      Bioplastik ini berasal dari sumber daya terbarukan (biobased) seperti tanaman, alga, atau limbah organik. Contohnya adalah PLA (Polylactic Acid) yang dibuat dari pati jagung atau tebu. Meskipun biobased, tidak semua bioplastik ini bersifat biodegradable. Keunggulannya adalah mengurangi emisi karbon karena menggunakan sumber daya terbarukan.

      2. Biodegradable Plastic:

        Bioplastik ini dirancang untuk dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme menjadi air, karbon dioksida (CO₂), dan biomassa. Beberapa biodegradable plastic dibuat dengan menambahkan biodegradable additive ke dalam plastik konvensional, sehingga meningkatkan kemampuan terurainya. Namun, proses penguraiannya memerlukan kondisi tertentu, seperti suhu, kelembapan, dan keberadaan mikroorganisme.

        3. Compostable Plastic:

        Bioplastik ini tidak hanya biodegradable tetapi juga dapat terurai secara penuh dalam fasilitas pengomposan industri, menghasilkan kompos yang aman bagi lingkungan. Compostable plastic harus memenuhi standar tertentu, seperti EN 13432 atau ASTM D6400, untuk memastikan bahwa ia terurai tanpa meninggalkan residu beracun.

        Gambar 1. Konsep ekonomi sirkular dari bioplastik.

        Gambar 2. Siklus Bio Produk Biodegradable/Bioplastik (Sumber: ISO 59004:2024)

        Gambar 3. Alternatif konsep sirkular ekonomi biodegradable plastik dan sustainable additive

        Skenario End-of-Life Bioplastik

        Bioplastik, terutama yang bersifat biodegradable dan compostable, menawarkan beberapa alternatif skenario end-of-life yang mendukung ekonomi sirkular:

        1. Landfill (Tempat Pembuangan Akhir):

          Biodegradasi Aerobik: Dalam lingkungan dengan oksigen, bioplastik terurai menjadi CO₂, air, dan biomassa.

          Biodegradasi Anaerobik: Dalam lingkungan tanpa oksigen, bioplastik terurai menjadi metana (CH₄) dan CO₂. Gas metana dapat ditambang dan dimanfaatkan sebagai sumber energi atau bahan baku untuk produksi polimer kembali.

          2. Pengomposan Industri:

            Bioplastik yang compostable dapat diolah di fasilitas pengomposan industri, menghasilkan kompos berkualitas tinggi yang dapat digunakan sebagai pupuk. Pupuk ini kemudian dimanfaatkan untuk menanam tanaman, yang biomassa-nya dapat diolah kembali menjadi bioplastik.

            3. Pengomposan Rumah Tangga:

            Beberapa bioplastik dirancang untuk dapat terurai dalam kondisi pengomposan rumah tangga, meskipun prosesnya lebih lambat dibandingkan pengomposan industri.

            4. Penguraian di Tanah:

            Bioplastik yang biodegradable dapat terurai di tanah, terutama jika didukung oleh kondisi lingkungan yang tepat. Produk penguraiannya, seperti kompos, dapat menyuburkan tanah dan mendukung pertumbuhan tanaman.

            Siklus Ekonomi Sirkular dari Bioplastik

            Dalam ekonomi sirkular, bioplastik menciptakan siklus tertutup yang berkelanjutan:

            1. Produk Penguraian: Bioplastik yang terurai menghasilkan kompos (pupuk), gas metana, gas karbon dioksida.
            2. Pemanfaatan Kompos: Kompos digunakan sebagai pupuk untuk menanam tanaman penghasil biomassa.
            3. Produksi Biomassa: Biomassa dari tanaman diolah kembali menjadi bioplastik.
            4. Pemanfaatan Gas Metana: Gas metana dari penguraian anaerobik dapat digunakan sebagai sumber energi atau bahan baku untuk produksi polimer.
            5. Penyerapan CO₂: CO₂ yang dihasilkan selama penguraian diserap oleh tanaman melalui fotosintesis, menutup siklus karbon.

            Dengan skenario end-of-life yang beragam dan siklus yang tertutup, bioplastik tidak hanya mengurangi limbah plastik tetapi juga mendukung sistem produksi dan konsumsi yang lebih berkelanjutan. Ini menjadikan bioplastik sebagai komponen kunci dalam transisi menuju ekonomi sirkular.

            Gambar 4. Skenarin End of Life cari plastik dan bioplastic menjadi Landfill Gas (LFG) (Sumber: Chidambarampadmavathy et al., 2017)

            Kondisi Regulasi EPR di Indonesia Saat Ini

            Pemerintah Indonesia telah mengatur kewajiban pengelolaan sampah melalui Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Regulasi ini menjadi dasar implementasi Extended Producer Responsibility (EPR), di mana produsen diwajibkan menyusun rencana pengurangan sampah, termasuk pengelolaan kemasan pasca-konsumsi.

            Poin utama Permen 75/2019:

            1. Target pengurangan sampah produsen sebesar 30% pada 2029  belum tercapai.
            2. Kewajiban menyusun peta jalan, redesign kemasan, serta mendorong daur ulang.
            3. Kewajiban pelaporan periodik kepada KLHK.

            Kekurangan atau bagian yang belum diatur:

            1. Skema Insentif dan Disinsentif – Belum ada mekanisme eco-modulation fee untuk membedakan kontribusi antara kemasan ramah lingkungan dengan kemasan sulit didaur ulang.
            2. Pengakuan Bahan Alternatif – Belum ada regulasi jelas mengenai posisi bioplastik (biodegradable dan/atau biobased bioplastik) dan sustainable additive dalam sistem EPR.
            3. Standar dan Sertifikasi Nasional – Standar SNI yang mengatur biodegradabilitas, komposabilitas, maupun mekanisme verifikasi ilmiah, belum lengkap.
            4. Peran PRO (Producer Responsibility Organization) – Belum didefinisikan secara detail mekanisme operasional PRO seperti IPRO dalam mendukung kewajiban produsen.
            5. Sistem Pengumpulan dan End-of-Life – Belum jelas jalur pemrosesan khusus untuk kemasan fleksibel atau biodegradable (misalnya kompos industri, landfill terkontrol).
            6. Penegakan Hukum – Mekanisme sanksi bagi produsen yang tidak mematuhi regulasi masih lemah dan belum konsisten.

            Saat ini sedang dilakukan pembahasan untuk merevisi Permen No. 75 Tahun 2019.

            Tantangan Bioplastik Plastik Masuk dalam Skema EPR

            1. Kurangnya standar dan sertifikasi nasional

              Standard, sertifikasi dan laboratorium penguji di Indonesia masih terbatas untuk pengujian produk biodegradable plastik.

              2. Kurangnya pemahaman dari pihak regulator dan PRO

              Regulator maupun PRO belum sepenuhnya memahami peranan biodegradable plastik dan sustainable additive sebagai salah satu solusi dalam penanganan sampah plastik flexible packaging.

              3. Belum ada skema insentif atau modulasi biaya EPR

              Tidak ada kejelasan apakah kemasan biodegradable dapat dikenakan kontribusi EPR yang lebih rendah dibanding plastik konvensional.

              4. Bioplastik tidak bertentangan dengan streamline EPR yang sudah ada saat ini

              Bioplastik dan biodegradable bioplastic bisa mengikuti semua streamline EPR yang saat ini sudah ada, seperti: recycle mekanis (mechanical recycle), waste to energi (RDF), dan komposting, dan landfill (anaerobic).

              Strategi Ringkas Integrasi Biodegradable Plastic dan Additive dalam Skema EPR Indonesia

              1. Penguatan Bukti Ilmiah dan Sertifikasi
              2. Melakukan uji biodegradasi sesuai standar internasional (EN 13432, ASTM D6400, ISO 17088).
              3. Menyusun dokumen Life Cycle Assessment (LCA) sebagai bukti keberlanjutan lingkungan.
              4. Mendapatkan sertifikasi dari lembaga terakreditasi dan/atau mendorong penerbitan standar nasional (SNI) khusus untuk biodegradable plastic.
              5. Pengembangan Sistem End-of-Life
              6. Menjalin kemitraan dengan pemda, pelaku kompos industri, dan pengelola TPA terkontrol untuk uji coba pengumpulan dan pengolahan sampah biodegradable.
              7. Mendorong pembangunan jalur pemrosesan terpisah (kompos, landfill terkontrol) untuk flexible packaging berbasis biodegradable.
              8. Advokasi dan Edukasi kepada Regulator dan PRO
              9. Mengedukasi Kementerian LHK, IPRO, dan PRAISE tentang biodegradable bioplastic dan sustainable additive.
              10. Menyusun policy brief atau position paper untuk memasukkan kategori “alternatif ramah lingkungan” ke dalam modulasi biaya EPR.
              11. Pilot Project dan Kolaborasi Multi-Stakeholder
              12. Menginisiasi proyek percontohan (pilot project) di sektor retail, kuliner, atau pariwisata menggunakan kemasan fleksibel biodegradable.
              13. Kolaborasi dengan perusahaan anggota EPR (anggota IPRO/PRAISE) untuk pengujian dan evaluasi lapangan.
              14. Pelabelan dan Komunikasi Konsumen
              15. Merancang label yang transparan dan informatif sesuai regulasi, misalnya: “Biodegradable dalam kondisi xxx”, “Terurai dalam waktu xx hari”.
              16. Menghindari klaim misleading seperti “100% biodegradable” tanpa kejelasan konteks dan skenario lingkungan.

              Disiapkan oleh: Dr. Isroi – Asosiasi PASTI

              BIODEGRADABILITY OF BIOPLASTIC IN NATURAL ENVIRONMENT

              https://www.scribd.com/document/432721647/BIODEGRADABILITY-OF-BIOPLASTIC-IN-NATURAL-ENVIRONMENT

              Berawal dari Mangkok Jelek Ini

              Mangkok bioplastik ini memang jelek dan bentuknya tidak beraturan. Warnanya jorok dan dibuang. Tapi, bagi saya mangkok jelek ini sangat bersejarah. Mangkok jelek ini lah mangkok biopastik yang berhasil saya buat dengan teknik injection molding.

              Mangkok ini sudah dibuang dan tersingkirikan. Hasil yang ditunjukkan ke saya adalah lembaran2 bioplastik gosong dengan bau tiwul yang menyengat.

              Setelah lihat mangkok jelek ini, muncul solusi untuk membuat injection yang lebih baik lagi.

              Alhamdulillah.

              Jalan Keluar/Solusi Tiba-tiba

              Prototipe Bioplastik Sawit dengan Teknik Injection Molding

              Sudah lebih dari empat tahun saya melakukan penelitian tentang bioplastik. Banyak tantangan dan rintangan yang saya hadapi, baik tantangan teknis maupun rintangan non teknis lainnya. Alhamdulillah, ibaratnya orang melangkah, selangkah demi selangkah kami, saya dan tim, bisa membuat kemajuan yang cukup berarti.

              Teknologi yang saya kembangkan memang masih cukup baru, belum banyak orang yang mengerjakannya. Bahkan industripun belum banyak yang membuatnya, kalau boleh dikata belum ada yang memproduksinya. Karena masih baru, tantangannya pun banyak banget. Nabrak sana-sini, salah sana sini. Macam-macam lah.

              Sampai pada satu tahapan saya sudah bisa membuat bijih bioplastik. Rasanya seneng sekali. Meski perjuangannya cukup luar biasa. Temen-temen di lab dan workshop harus kerja keras, bahkan lembur untuk melakukan penelitian ini.Mesin rusak, spare-part susah di dapat, orang mesin yang kabur….. jadi tantangan tersendiri.

              Salah formulasi dan masuk ke mesin extruder cukup fatal akibatnya. Mesin macet total. Screw nggak mau diputar. Saya sudah panik, khawatir kalau screw-nya patah. Kimat dah penelitian ini kalau screw patah. Untungnya, block mesin bisa dibuka dan screw masih selamat. Penelitian jalan lagi.

              Di saat-saat kritis, saya ditugaskan dalam waktu lama di Indonesia timur. Artinya, saya tidak bisa lagi nge-lab mengerjakan penelitian ini. Temen-temen di lab dan workshop banyak mengalami kendala teknis. Formulasi-formulasi yang dibuat gagal melulu. Coba di bawa ke pabrik dan di-inject nggak ada yang jadi. Jadinya malah mirip dodol.

              Saya memaksakan untuk balik ke lab, karena sudah injuri time. Penelitian ini harus jalan terus dan harus berhasil. Bismillah, lahaulawalaquataillabillah.

              Saya buat formulasi lagi dan saya bawa ke pabrik plastik untuk ujicoba injection molding yang kesekian kalinya. Ujicoba pertama bahan masuk –> nggak jadi. Saya tinggal dulu sebentar ngobrol dengan yang punya pabrik. Orang-orang pabrik membersihkan lagi mesin extrude dan injection moldingnya. Lalu coba inject lagi.

              Saya dilapori kalau jadinya dodol lagi, baunya seperti tiwul… maklumlah bahannya ada singkongnya. Saya lihat-lihat lagi produk-produk yang gagal itu.

              Ada satu produk yang menunjukkan terbentuk compound yang bagus. Tiba-tiba …TING….. ide itu muncul begitu saja di kepala.

              Lalu saya minta lagi ke pekerja untuk membuat formulasi di situ, dibantu oleh pemilik pabriknya. Dan dicoba lagi…

              Alhamdulillah……

              Sekali inject langsung jadi produk mangkok yang bagus. Bisa keras, bisa kering, bisa kaku.

              Masih ada kekurangan di sana-sini. Maklumlah…prototipe yang masih awal-awal.

              Tapi dengan keberhasilan ini, membuka ruang penggunaan bioplastik sawit yang luas sekali. Ada banyak produk jadi yang bisa dibuat. Ada banyak sektor yang bisa dimasuki.

              Saya tahu ini tidak mudah dan tidak mulus.

              Semoga Allah selalu menunjukki jalan-jalan-Nya dan memberi kemudahan jalan keluar agar terwujudnya “MIMPI” ini.

              Insya Allah.

              Tamu dari Dinas Perindustrian Kab. Banjarnegara Mencicipi Edible Bioplastik

              Pagi ini saya kedatangan beberapa orang tamu dari dinas perindustrian kab. Banjarnegara. Mereka sedang melakukan studi banding ke kota Bogor untuk melihat peluang-peluang pengembangan produk-produk agro industri dari Kab. Banjarnegara. Salah satu dari tamu tersebut adalah kawan satu tempat dulu ketika saya tinggal jadi marbot di Masjid Fatimatuzzahra.

              Banyak hal yang kita diskusikan, salah satunya adalah mereka tertarik untuk mencoba memanfaatkan edible bioplastik. Kab. Banjarnegara memiliki potensi produk/jajanan/makanan yang diolah dari hasil pertanian, seperti: carica, salak dan buah-buahan lainnya.Salah satu produk olahannya adalah dodol. Dodol dari buah ini umumnya lengket. Nah, kalau bisa dibungkus dengan bioplastik, dodolnya tidak perlu dibuka bungkusnya, tetapi langsung dimakan seplastik-plastiknya.

              Menarik sekali.

              Bioplastik dari Singkong

              Pemandangan Sampah Plastik

              Secara visual, sampah yang kita lihat akan dominan plastik. Kenapa bisa demikian, karena sampah plastik sangat sulit terurai. Sampah ada dua kelompok besar: organik dan anorganik; termasuk plastik di dalamnya. Sampah organik bisa terurai dengan berjalannya waktu. Sampah organik semakin lama akan berkurang dan akan habis. Tetapi sampah plastik tidak terurai. Jadi semakin lama akan semakin menumpuk dan semakin banyak.

              Masyarakat kita juga memiliki kebiasaan untuk membungkus sampah dengan plastik. Akibatnya, sampah akan terlihat dominan sampah plastik. Demikian juga sampah yang dibungkus, yang organik juga akan lebih sulit terurai.

              Pemandangan ini diambil di TPA Galuga.

              Bioplastik Tahan Air

              bioplastik kantong air

              Uji bioplastik untuk kantong air.

              Salah satu permasalahan bioplastik adalah ketahanannya terhadap air. Bioplastik umumnya tidak tahan air, karena memang dari ‘sono’nya sudah suka air. Jadi kalau ada air, biplastik akan segera ‘mendekap’-nya. Akibatnya, penggunaan bioplastik jadi terbatas, banyak yang belum bisa digunakan untuk yang basah-basah. Sebagian besar digunakan untuk yang kering-kering saja.

              Nah, berbagai penelitian dilakukan untuk meningkatkan kekuatan bioplastik agar lebih tahan air. Sifatnya yang ‘suka air’ dikurangi sebanyak mungkin, atau kalau bisa dibuat jadi ‘benci air’. Tidak mudah memang. Tapi ini tantangan luar biasa. Banyak cara dilakukan orang untuk membuat agar bioplastik jadi ‘benci air’.

              Saya juga sudah mencoba berbagai macam cara agar bioplastik yang saya buat menjadi ‘tidak terlalu suka air. Setahun saya coba ini itu, hasilnya masih kurang memuaskan. Hari ini saya agak seneng sedikit, karena bioplastik yang saya buat sudah lebih ‘tahan air’. Sudah bisa dipakai untuk kantong air, meski belum kuat bener.

              Lebih senengnya lagi, ini bisa dimakan. Jadi bahan-bahan yang saya buat adalah edible alias layak dimakan.

              Tunggu kelanjutannya.

              Tantangan Makan Bioplastik: H. Najamudin

              Bang Demul Makan Bioplastik