Extended Producer Responsibility (EPR)
Extended Producer Responsibility (EPR) adalah pendekatan kebijakan lingkungan yang memperluas tanggung jawab produsen terhadap produk mereka hingga tahap pasca-konsumsi — yaitu ketika produk tersebut menjadi limbah. EPR menuntut produsen tidak hanya bertanggung jawab saat mendesain dan menjual produk, tetapi juga saat produk dikumpulkan, diolah, didaur ulang, atau dibuang.
EPR bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan, mendorong inovasi desain produk, serta mengalihkan beban pengelolaan sampah dari pemerintah kepada produsen melalui prinsip polluter pays.
Meskipun produsen adalah pemilik kewajiban utama dalam EPR, pelaksanaannya tidak dijalankan sendirian. EPR adalah bagian dari ekosistem multi-pihak yang melibatkan:
| Aktor | Peran Utama |
| Produsen / Brand Owner | Membiayai dan menjamin pengelolaan limbah produk mereka |
| PRO (Producer Responsibility Organization) | Lembaga kolektif yang mewakili produsen dalam menjalankan kewajiban EPR |
| Pemerintah | Menetapkan regulasi, target nasional, sistem pelaporan, dan penegakan hukum |
| Operator Sampah & Daur Ulang | Menjalankan pengumpulan, sortir, dan daur ulang |
| Sektor Informal (pemulung, bank sampah) | Mitra penting di lapangan, khususnya di negara berkembang |
| Lembaga Audit / Konsultan | Membantu pelaporan, pemantauan, dan verifikasi kinerja EPR |
| Konsumen | Berperan melalui pemilahan sampah, pengembalian kemasan, atau pembelian produk yang bertanggung jawab |
Konsep Dasar EPR
EPR didasarkan pada prinsip “polluter pays” dan ekonomi sirkular, di mana produsen:
- Bertanggung jawab mengurangi dampak lingkungan dari produk yang mereka hasilkan,
- Didorong untuk merancang produk yang lebih ramah lingkungan,
- Mendanai atau mengelola sistem pengumpulan dan daur ulang produk mereka sendiri.
Tanggung Jawab Produsen dalam EPR
| Aspek | Tanggung Jawab |
| Desain produk | Membuat produk lebih mudah didaur ulang, dapat digunakan ulang, atau biodegradable |
| Pengumpulan | Menyediakan sistem pengumpulan limbah produk pasca-konsumsi (sendiri atau melalui pihak ketiga) |
| Pengolahan | Memastikan limbah plastik dari produk mereka didaur ulang atau dikelola secara aman |
| Pelaporan | Melaporkan volume produk yang diproduksi, didistribusikan, dan dikelola limbahnya |
| Pembiayaan | Membiayai program pengumpulan dan daur ulang limbah produk mereka |
Struktur Ekosistem EPR
Berikut adalah aktor-aktor utama dalam ekosistem EPR dan perannya:
| Aktor | Peran dalam EPR |
| Produsen / Importir / Brand Owner | Pemilik kewajiban utama: mendanai dan memastikan produk mereka dikelola di akhir siklus hidup |
| PRO (Producer Responsibility Organization) | Lembaga kolektif yang dibentuk/digunakan produsen untuk mengelola pengumpulan, daur ulang, pelaporan, dan edukasi |
| Pemerintah (nasional dan daerah) | Membuat regulasi EPR, menetapkan target, memantau, menegakkan hukum, dan menetapkan kerangka kerja |
| Operator Pengelola Sampah / Daur Ulang | Menyediakan infrastruktur pengumpulan, sortir, dan daur ulang (bisa BUMD, swasta, koperasi, atau komunitas) |
| Sektor Informal (pemulung, bank sampah, LSM) | Berperan penting di negara berkembang — pengumpul utama sampah pasca-konsumsi |
| Lembaga Pemantau / Auditor / Konsultan | Membantu verifikasi, pelaporan, dan perhitun gan kewajiban |
| Konsumen | Didorong untuk berpartisipasi melalui pemilahan, pengembalian, atau penggunaan kembali |
Salah satu actor kunci dalam EPR ini adalah PRO (Producer Responsibility Organization). PRO (Producer Responsibility Organization) adalah lembaga yang dibentuk oleh produsen atau brand-owner untuk menjalankan kewajiban Extended Producer Responsibility (EPR) secara kolektif. PRO tidak membuat produk, tetapi mewakili para produsen dalam mengelola siklus akhir produk mereka, khususnya limbah kemasan, elektronik, baterai, dan lainnya. Lembaga PRO di Indonesia yang sudah ada adalah IPRO (Indonesia Packaging Recovery Organization). IPRO ini dilauncing oleh PRAISE (Packaging & Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment).
Anggota IPRO:
- Coca‑Cola Indonesia
- Danone Indonesia
- Indofood Sukses Makmur
- Nestlé Indonesia
- Tetra Pak Indonesia
- Unilever Sampoerna Indonesia
- SIG (pengemas industri / aseptik)
- SC Johnson Indonesia
- Suntory Garuda Beverage (SGB)
Peluang Bioplastik dan Biodegradable Plastik Masuk dalam Skema EPR untuk Flexible Packaging (Kemasan Flexible)
Flexible packaging adalah jenis kemasan yang bentuknya fleksibel, lentur, dan mudah berubah bentuk, biasanya terbuat dari film plastik tunggal atau multilayer, serta terkadang dikombinasikan dengan bahan lain seperti aluminium foil atau kertas. Kemasan flexible dipakai secara luas karena keunggulan fungsionalnya, namun juga menjadi salah satu sampah kemasan plastik yang sulit untuk didaur ulang.
Beberapa contoh kemasan flexible yang banyak mendapatkan sorotan adalah kemasan sachet. Kemasan sachet adalah kemasan flexible dengan ukuran kecil (biasanya <15gr), umum digunakan untuk kemasan:
- Sabun cair, sampo dan detergen;
- Kopi, gula, sambal, saos;
- Obat dan kosmetik.
Kendala utama kemasan sachet antara lain:
| Masalah | Penjelasan |
| Sulit atau tidak dapat didaur ulang | Banyak flexible packaging yang berupa multilayer. Kombinasi multilayer plastik–aluminium yang tidak bisa diproses oleh sistem daur ulang konvensional. Ringan dan tipis yang membuatnya sulit dipilah di fasilitas daur ulang. Nilai ekonominya rendah, sehingga tidak menarik bagi industri daur ulang. |
| Tidak terstandard | Variasi bahan dan desain yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk membuat sistem daur ulang yang kompatible. Tidak semua flexible packaging dilengkapi dengan label material dan panduan pemilahan. |
| Sulit dikumpulkan | Ukurannya kecil, sering tercecer, tidak ekonomis untuk dikumpulkan |
| Volume sangat besar | Disebut dalam laporan UNEP sebagai kontributor utama mikroplastik dan sampah laut di negara berkembang |
| Sumber utama polusi visual dan drainase tersumbat | Terutama di kawasan urban dan pesisir |
Flexible packaging efisien secara fungsional, namun problematik secara end-of-life. Biodegradable plastik/biodegradable additive/sustainable additive berpeluang mengisi celah ini. Sustainable additive/biodegradable additive/biodegradable plastik secara teknis bisa masuk ke dalam skema EPR yang sudah ada, seperti: waste to energi menjadi RDF (refused-derived fuel), mechanical recycle, atau pun landfill. Di sisi lain solusi ini juga menawarkan jalur alternatif untuk flexible packaging ini, yaitu kompos, biodegradasi di tanah dan/atau landfill terkontrol/sanitary.
Biodegradable plastik, biodegradable additive, dan sustainable additive memiliki peluang strategis untuk masuk ke dalam skema EPR di Indonesia, khususnya sebagai solusi bagi kemasan fleksibel (flexible packaging) yang sulit didaur ulang secara konvensional. Dengan catatan mampu menunjukkan bukti ilmiah mengenai biodegradasi yang aman dan terverifikasi dan tersertifikasi, serta memiliki jalur pengelolaan akhir yang sesuai seperti kompos industri atau landfill terkontrol/sanitary, maka produk-produk ini dapat diakui sebagai bagian dari solusi pengurangan sampah plastik. Dalam konteks EPR Indonesia, peluang ini semakin terbuka melalui mekanisme pilot project, pengumpulan terpilah, atau insentif biaya kontribusi (eco-modulation fee) yang mendorong adopsi bahan kemasan yang lebih ramah lingkungan.
Konsep Sirkular Ekonomi dari Bioplastik (Biodegradable dan/atau Biobased Bioplastik) dan Sustainable Additive
Dalam kerangka ekonomi sirkular, selain daur ulang mekanik (mechanical recycling), terdapat juga siklus penting yang sering diabaikan, yaitu biological recycling atau organic recycling. Biological recycle merujuk pada proses pengembalian material ke alam melalui degradasi biologis seperti komposasi atau fermentasi, yang mengubah bahan organik menjadi humus atau energi hayati. Produk seperti biodegradable plastik dan sustainable additive dirancang untuk mengikuti jalur ini, di mana materialnya dapat terurai secara hayati melalui aktivitas mikroorganisme di lingkungan terkontrol (misalnya fasilitas kompos industri) atau alami, tanpa meninggalkan residu berbahaya. Konsep ini memperluas makna circular economy—tidak hanya mengandalkan daur ulang fisik, tetapi juga memungkinkan material tertentu untuk “kembali ke tanah” secara aman dan produktif, sejalan dengan prinsip ekologi alami.
Bioplastik memainkan peran penting dalam mendukung ekonomi sirkular karena dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meminimalkan dampak lingkungan dari limbah plastik. Saat ini, bioplastik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Biobased Bioplastic:
Bioplastik ini berasal dari sumber daya terbarukan (biobased) seperti tanaman, alga, atau limbah organik. Contohnya adalah PLA (Polylactic Acid) yang dibuat dari pati jagung atau tebu. Meskipun biobased, tidak semua bioplastik ini bersifat biodegradable. Keunggulannya adalah mengurangi emisi karbon karena menggunakan sumber daya terbarukan.
2. Biodegradable Plastic:
Bioplastik ini dirancang untuk dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme menjadi air, karbon dioksida (CO₂), dan biomassa. Beberapa biodegradable plastic dibuat dengan menambahkan biodegradable additive ke dalam plastik konvensional, sehingga meningkatkan kemampuan terurainya. Namun, proses penguraiannya memerlukan kondisi tertentu, seperti suhu, kelembapan, dan keberadaan mikroorganisme.
3. Compostable Plastic:
Bioplastik ini tidak hanya biodegradable tetapi juga dapat terurai secara penuh dalam fasilitas pengomposan industri, menghasilkan kompos yang aman bagi lingkungan. Compostable plastic harus memenuhi standar tertentu, seperti EN 13432 atau ASTM D6400, untuk memastikan bahwa ia terurai tanpa meninggalkan residu beracun.

Gambar 1. Konsep ekonomi sirkular dari bioplastik.

Gambar 2. Siklus Bio Produk Biodegradable/Bioplastik (Sumber: ISO 59004:2024)

Gambar 3. Alternatif konsep sirkular ekonomi biodegradable plastik dan sustainable additive
Skenario End-of-Life Bioplastik
Bioplastik, terutama yang bersifat biodegradable dan compostable, menawarkan beberapa alternatif skenario end-of-life yang mendukung ekonomi sirkular:
1. Landfill (Tempat Pembuangan Akhir):
Biodegradasi Aerobik: Dalam lingkungan dengan oksigen, bioplastik terurai menjadi CO₂, air, dan biomassa.
Biodegradasi Anaerobik: Dalam lingkungan tanpa oksigen, bioplastik terurai menjadi metana (CH₄) dan CO₂. Gas metana dapat ditambang dan dimanfaatkan sebagai sumber energi atau bahan baku untuk produksi polimer kembali.
2. Pengomposan Industri:
Bioplastik yang compostable dapat diolah di fasilitas pengomposan industri, menghasilkan kompos berkualitas tinggi yang dapat digunakan sebagai pupuk. Pupuk ini kemudian dimanfaatkan untuk menanam tanaman, yang biomassa-nya dapat diolah kembali menjadi bioplastik.
3. Pengomposan Rumah Tangga:
Beberapa bioplastik dirancang untuk dapat terurai dalam kondisi pengomposan rumah tangga, meskipun prosesnya lebih lambat dibandingkan pengomposan industri.
4. Penguraian di Tanah:
Bioplastik yang biodegradable dapat terurai di tanah, terutama jika didukung oleh kondisi lingkungan yang tepat. Produk penguraiannya, seperti kompos, dapat menyuburkan tanah dan mendukung pertumbuhan tanaman.
Siklus Ekonomi Sirkular dari Bioplastik
Dalam ekonomi sirkular, bioplastik menciptakan siklus tertutup yang berkelanjutan:
- Produk Penguraian: Bioplastik yang terurai menghasilkan kompos (pupuk), gas metana, gas karbon dioksida.
- Pemanfaatan Kompos: Kompos digunakan sebagai pupuk untuk menanam tanaman penghasil biomassa.
- Produksi Biomassa: Biomassa dari tanaman diolah kembali menjadi bioplastik.
- Pemanfaatan Gas Metana: Gas metana dari penguraian anaerobik dapat digunakan sebagai sumber energi atau bahan baku untuk produksi polimer.
- Penyerapan CO₂: CO₂ yang dihasilkan selama penguraian diserap oleh tanaman melalui fotosintesis, menutup siklus karbon.
Dengan skenario end-of-life yang beragam dan siklus yang tertutup, bioplastik tidak hanya mengurangi limbah plastik tetapi juga mendukung sistem produksi dan konsumsi yang lebih berkelanjutan. Ini menjadikan bioplastik sebagai komponen kunci dalam transisi menuju ekonomi sirkular.

Gambar 4. Skenarin End of Life cari plastik dan bioplastic menjadi Landfill Gas (LFG) (Sumber: Chidambarampadmavathy et al., 2017)
Kondisi Regulasi EPR di Indonesia Saat Ini
Pemerintah Indonesia telah mengatur kewajiban pengelolaan sampah melalui Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Regulasi ini menjadi dasar implementasi Extended Producer Responsibility (EPR), di mana produsen diwajibkan menyusun rencana pengurangan sampah, termasuk pengelolaan kemasan pasca-konsumsi.
Poin utama Permen 75/2019:
- Target pengurangan sampah produsen sebesar 30% pada 2029 belum tercapai.
- Kewajiban menyusun peta jalan, redesign kemasan, serta mendorong daur ulang.
- Kewajiban pelaporan periodik kepada KLHK.
Kekurangan atau bagian yang belum diatur:
- Skema Insentif dan Disinsentif – Belum ada mekanisme eco-modulation fee untuk membedakan kontribusi antara kemasan ramah lingkungan dengan kemasan sulit didaur ulang.
- Pengakuan Bahan Alternatif – Belum ada regulasi jelas mengenai posisi bioplastik (biodegradable dan/atau biobased bioplastik) dan sustainable additive dalam sistem EPR.
- Standar dan Sertifikasi Nasional – Standar SNI yang mengatur biodegradabilitas, komposabilitas, maupun mekanisme verifikasi ilmiah, belum lengkap.
- Peran PRO (Producer Responsibility Organization) – Belum didefinisikan secara detail mekanisme operasional PRO seperti IPRO dalam mendukung kewajiban produsen.
- Sistem Pengumpulan dan End-of-Life – Belum jelas jalur pemrosesan khusus untuk kemasan fleksibel atau biodegradable (misalnya kompos industri, landfill terkontrol).
- Penegakan Hukum – Mekanisme sanksi bagi produsen yang tidak mematuhi regulasi masih lemah dan belum konsisten.
Saat ini sedang dilakukan pembahasan untuk merevisi Permen No. 75 Tahun 2019.
Tantangan Bioplastik Plastik Masuk dalam Skema EPR
1. Kurangnya standar dan sertifikasi nasional
Standard, sertifikasi dan laboratorium penguji di Indonesia masih terbatas untuk pengujian produk biodegradable plastik.
2. Kurangnya pemahaman dari pihak regulator dan PRO
Regulator maupun PRO belum sepenuhnya memahami peranan biodegradable plastik dan sustainable additive sebagai salah satu solusi dalam penanganan sampah plastik flexible packaging.
3. Belum ada skema insentif atau modulasi biaya EPR
Tidak ada kejelasan apakah kemasan biodegradable dapat dikenakan kontribusi EPR yang lebih rendah dibanding plastik konvensional.
4. Bioplastik tidak bertentangan dengan streamline EPR yang sudah ada saat ini
Bioplastik dan biodegradable bioplastic bisa mengikuti semua streamline EPR yang saat ini sudah ada, seperti: recycle mekanis (mechanical recycle), waste to energi (RDF), dan komposting, dan landfill (anaerobic).
Strategi Ringkas Integrasi Biodegradable Plastic dan Additive dalam Skema EPR Indonesia
- Penguatan Bukti Ilmiah dan Sertifikasi
- Melakukan uji biodegradasi sesuai standar internasional (EN 13432, ASTM D6400, ISO 17088).
- Menyusun dokumen Life Cycle Assessment (LCA) sebagai bukti keberlanjutan lingkungan.
- Mendapatkan sertifikasi dari lembaga terakreditasi dan/atau mendorong penerbitan standar nasional (SNI) khusus untuk biodegradable plastic.
- Pengembangan Sistem End-of-Life
- Menjalin kemitraan dengan pemda, pelaku kompos industri, dan pengelola TPA terkontrol untuk uji coba pengumpulan dan pengolahan sampah biodegradable.
- Mendorong pembangunan jalur pemrosesan terpisah (kompos, landfill terkontrol) untuk flexible packaging berbasis biodegradable.
- Advokasi dan Edukasi kepada Regulator dan PRO
- Mengedukasi Kementerian LHK, IPRO, dan PRAISE tentang biodegradable bioplastic dan sustainable additive.
- Menyusun policy brief atau position paper untuk memasukkan kategori “alternatif ramah lingkungan” ke dalam modulasi biaya EPR.
- Pilot Project dan Kolaborasi Multi-Stakeholder
- Menginisiasi proyek percontohan (pilot project) di sektor retail, kuliner, atau pariwisata menggunakan kemasan fleksibel biodegradable.
- Kolaborasi dengan perusahaan anggota EPR (anggota IPRO/PRAISE) untuk pengujian dan evaluasi lapangan.
- Pelabelan dan Komunikasi Konsumen
- Merancang label yang transparan dan informatif sesuai regulasi, misalnya: “Biodegradable dalam kondisi xxx”, “Terurai dalam waktu xx hari”.
- Menghindari klaim misleading seperti “100% biodegradable” tanpa kejelasan konteks dan skenario lingkungan.
Disiapkan oleh: Dr. Isroi – Asosiasi PASTI











