Sibulue adalah nama gunung kecil atau bukit di sebelah utara pabrik gula. Di sekeliling gunung ini terletak beberapa kebun tebu; Sibulue, Polewali, Kaju dan ArasoE. Nama-nama kebun sama dengan nama desa yang mengelilingi bukit Sibulue. Beberapa tempat di bukit Sibulue ini terkenal angker dan ada ‘penunggu’-nya. Kepercayaan masyarakat setempat.
Bukit Sibulue bukan bukit yang besar. Bukit ini banyak batu-batu kapurnya. Batu-batunya ada yang berukuran besar. Pohon-pohonnya tidak terlalu lebat dan rapat. Malah cenderung jarang-jarang, karena sedang musim kemarau panjang seperti saat ini. Rumput-rumputnya nampak kuning kecoklatan karena kering.
Warga kampung sekitar bukit Sibulue banyak yang memilhara sapi. Sapi-sapi itu digembalakan di pematang-pematang kebun tebu, di sawah-sawah atau di ladang-ladang terbuka lainnya yang ada rumpunya. Banyak juga warga yang membuat kandang di kaki bukit Sibulue. Luas kandangnya bisa ratusan meter dan diisi beberapa ekor sapi. Kadang ini dikelilingi oleh pagar kayu atau bambu dan kawat berduri. Setiap hari yang punya sapi akan datang dua kali, pagi dan sore hari, untuk memberi minum dan pakan untuk sapi-sapinya.
Ada juga peternak yang memiliki banyak ekor sapi, tetapi tidak punya kadang di kaki bukit. Mereka biasanya mengembalakan sapi-sapinya di kaki bukit Sibulue. Suatu hari ada warga desa yang mengembalakan sapinya ke Sibulue. Semua tanpak normal-normal saja. Pengembala menunggu sapi-sapinya makan sambil berteduh di bawah pohon. Dia mengawasi sapi-sapinya dari kejauhan. Mereka biasanya membawa bekal makan, minum dan tentunya juga rokok.
Si pengembala merasa pingin buang hajat kecil. Dia berdiri dari tempat duduknya semula. Lalu ‘clingak-clinguk’ mencari tempat yang relatin ‘aman’. Dia berjalan menuju balik batu besar dan melampiaskan hajatnya di situ. Seeerr….. Lega.
Tiba-tiba…. belum selesai dia memasukkan burungnya lagi, lehernya seperti tercekik.
“eerrgghhhh…..”
Buru-buru dia merapikan diri lalu kembali ke tempatnya semula sambil sedikit berlari. Tangannya memegangi lehernya. Tak berapa lama wajahnya memerah…..lalu lama-lama membiru………..
Dia beranjak pulang dengan langkah sedikit gontai…sapi-sapinya ditinggalkannya begitu saja. Di tengah jalan dia ketemu dengan tetangganya…
“Kenapa kamu…???” tanya tetangganya dengan terheran-heran.
Si pengembala tidak banyak menjawab, hanya menunjuk ke lehernya yang agak susah bernapas. Tetangganya mengantarkannya pulang ke rumah. Dia ditidurkan di tempat tidurnya.
Kabar menyebar dengan cepat. Tetangganya berdatangan ke rumah kayunya, karena penasaran dan pingin tahu. Rumahnya jadi ramai.
Singkat cerita, mereka jadi tahu kalau si pengembala ini ‘mungkin’ kerusupan atau diganggu jin. Mereka memanggil tetua kampung untuk menolongnya.Tetua kampung datang dan melihat kondisinya. Lalu dia berkata pada keluarganya:
“Ambilkan ayam….!”
Keluarganya pun segera mencari ayam dan diserahkan ke tetua kampung itu.